Waka MPR Sebut UU ITE Sejatinya Melindungi Warga di Ruang Digital

Waka MPR Sebut UU ITE Sejatinya Melindungi Warga di Ruang Digital

Jihaan Khoirunnissa - detikNews
Kamis, 08 Feb 2024 09:42 WIB
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Foto: Dok. MPR RI
Jakarta -

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat (Rerie) menghadiri Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk 'Perangkap UU ITE terhadap Penggiat Lingkungan dan (Media) Sosial)'. Ia menekankan agar negara melindungi setiap warga dengan menempatkan asas praduga tak bersalah dan mengesampingkan kepentingan tertentu dalam upaya mendukung inisiatif masyarakat melestarikan lingkungan.

"Jangan sampai inisiatif partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui ruang virtual malah harus berhadapan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," kata Rerie dalam keterangannya, Kamis (8/2/2024).

Pesan itu diungkapkannya secara daring pada Rabu (7/2). Menurutnya, esensi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara dalam ruang digital. Adapun perlindungan dimaksud merujuk pada upaya mencegah tersebarnya informasi palsu, berita bohong, kekerasan virtual, ancaman, dan distorsi informasi yang memicu konflik sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain, dengan menggunakan UU ITE, pejuang lingkungan #SaveKarimunjawa dikriminalisasi karena aktif menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambak udang Vaname ilegal yang tersebar masif di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.Dalam konteks tersebut, Rerie menegaskan negara harus hadir melindungi warga secara menyeluruh dalam ruang virtual tanpa diskriminasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi mengungkapkan konstitusi melindungi semua orang dan mereka berhak mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu, setiap negara wajib terlibat dalam penyelamatan lingkungan hidup. Atas dasar itu, setiap orang harus berperan melindungi lingkungan hidupnya.

ADVERTISEMENT

Zenzi menyebutkan konflik terkait lingkungan kerap terjadi karena ada cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan negara. Menurutnya, masyarakat memiliki pedoman hidup terkait aturan benar atau salah dan baik atau buruk. Penilaian itu sudah dipakai pada praktik keseharian dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan norma dan etika.

Sedangkan, negara tidak memandang satu kebijakan atas benar atau salah dan baik atau buruk, tetapi semata berdasarkan legal dan tidak legal. Oleh karena itu, Zenzi mengatakan ketika ada masyarakat yang melawan legalitas suatu kebijakan, negara menilai masyarakat yang mengkritik kebijakan itu sebagai pihak jahat.

Akibatnya, kerusakan lingkungan Indonesia justru masif terjadi diawali oleh terbitnya kebijakan. Padahal, kritik terhadap suatu kebijakan seharusnya dijadikan dasar untuk mereview kebijakan tersebut.

Di samping itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Satyawan Pudyatmoko berpendapat setiap upaya konservasi di dunia memiliki tiga tujuan utama, yakni menjaga ekosistem dan mempertahankan proses-proses ekologis penting yang menjadi pengganggu kehidupan manusia.

Selain itu, perlindungan keanekaragaman spesies dan genetik satwa dan tumbuhan liar dari kepunahan yang terjadi alami. Bila tidak diatur dengan upaya konservasi, kepunahan sejumlah spesies akan lebih cepat.

Tujuan berikutnya adalah pemanfaatan secara lestari untuk menyeimbangkan kepentingan konservasi dan ekonomi. Menurut Satyawan, kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar legal atau tidak legal, karena undang-undang tentang lingkungan hidup selalu dilengkapi aturan Amdal dan aturan-aturan pelaksanaannya.

Ia berpendapat hadirnya undang-undang tentang lingkungan hidup itu untuk melindungi wilayah Indonesia dari kerusakan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia. Sejumlah tujuan dari kebijakan tersebut memperlihatkan kebijakan yang dihadirkan pemerintah bukan didasari dengan legal atau tidak legal semata.

Di sisi lain, Warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Bambang Zakaria mengungkapkan dirinya dan keluarga hidup dan mencari nafkah di lingkungan Karimunjawa berdasarkan budaya yang dikenalnya sejak lahir. Ia pun menyebutkan warga Karimunjawa adalah pendatang yang terdiri dari sejumlah suku antara lain Jawa, Bugis, Madura dan Mandar.

Akan tetapi, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Karimunjawa dipaksa memakai undang-undang dalam mengelola lingkungan. Padahal, ketika belum ada penerapan undang-undang dalam pengelolaan lingkungan di Karimunjawa dengan mengedepan kebersamaan, lingkungan hidup di Karimunjawa kondisinya jauh lebih baik.

Lebih lanjut, Bambang menyampaikan pada 2017 mulai terlihat eksploitasi besar-besaran lingkungan untuk tambak udang di Karimunjawa. Ia mengaku fenomena tersebut dan dampaknya sudah coba dilaporkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten setempat, serta ke Balai Taman Nasional, namun tidak mendapat respons yang nyata.

Pada akhirnya, kondisi eksploitasi Karimunjawa itu disebarkan melalui media sosial oleh aktivis lingkungan yang bergiat di Karimunjawa, tetapi malah dijerat dengan UU ITE. Menyikapi kondisi tersebut, Satyawan berpendapat kawasan tambak udang itu di luar kawasan taman nasional, sehingga di luar kewenangannya untuk menindak.

Pada pengelolaan kawasan mangrove juga masih ada problem regulasi, terutama mangrove pada areal penggunaan lain (APL) dan mangrove yang berada di kawasan di luar hutan.

Sementara Pemerhati Lingkungan, Arimbi Heroepoetri mengatakan kasus-kasus hukum terkait lingkungan yang muncul saat ini merupakan puncak gunung es. Menurutnya, kasus tersebut kerap terjadi disebabkan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatannya.

Terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adat di sekitar hutan misalnya, menggunakan alasan untuk melindungi hutan dari proses perusakan.i Arimbi pun menyatakan ada masalah gap dalam pemahaman hukum antara pemerintah dan masyarakat, sehingga muncul berbagai permasalahan hukum saat ini.

Sedangkan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan, KemenkumHam RI, Alpius Sarumaha menyampaikan bila UU ITE masih dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu segera dilakukan penyempurnaannya. Solusi untuk penyempurnaan bisa mulai dengan menggali substansi apa yang kurang dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

Selanjutnya, substansi yang dihasilkan bisa ditambahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan turunan lainnya. Lalu, Alpius menyebutkan Kementerian Hukum dan HAM akan membantu memberi solusi melalui tahapan-tahapan legislasi yang ada dalam proses penyempurnaan kebijakan tersebut.

(ega/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads