Jari Panjang Presiden

Kolom

Jari Panjang Presiden

- detikNews
Jumat, 08 Des 2006 16:32 WIB
Den Haag - Presiden kita selama ini memiliki jari-jari kaki yang panjang. Ini menurun ke pejabat lainnya. Selain itu, kalau diamati dengan jeli, tangan-tangan mereka justru pendek mengkeret. Kalau Anda membuka kaki presiden dan para pejabat itu untuk membuktikan, percuma. Jari-jari kaki mereka pasti rapi jali, mulus terawat teratur oleh para pedicure. Memiliki jari-jari kaki yang panjang ini cuma kiasan bersumber dari: lange tenen hebben (bahasa Belanda). Hij heeft lange tenen, dia memiliki jari-jari kaki yang panjang, maksudnya cepat sekali merasa terhina, tersinggung. Presiden kita selama puluhan tahun begitu. Mengalami sindrom kodok, keenakan dengan Haatzai Artikelen (Pasal-pasal Penyebaran Kebencian) khususnya pasal 134 dan 136 bis, Wetboek van Strafrecht yang diindonesiakan menjadi KUHP. Seorang presiden mungkin bisa bijak bestari, berhati lapang seluas samudera. Namun para pembantunya, dipengaruhi motivasi aneka macam, terbukti telah selama bertahun-tahun paling sigap menjebloskan orang-orang ke penjara gara-gara menyentil presiden. Sebagai manusia hati seorang presiden juga tidak selamanya seluas samudera, tapi kadang-kadang bisa sesempit selokan, lalu tergoda memerintahkan penggunaan pasal-pasal itu dengan tuduhan menghina lembaga presiden. Apalagi jika kepala pusing, jantung berirama liar karena kekuasaannya terancam. Mana batas pribadi, mana lembaga, terbukti susah dipilah. Pasal ini sarat dengan godaan penyalahgunaan: bisa oleh 'aparat di bawah kabinet' presiden, bisa oleh presiden sendiri. Karena itu kabar pasal-pasal itu akan dicabut, patut disambut gembira. Selain sudah tidak relevan karena pasal-pasal itu dibuat dari konteks dan kepentingan penjajah, juga tidak adil. Jika seseorang bersedia menjadi presiden, tersenyum lebar dan sangat menikmati saat puji-pujian berhamburan karena tindakan baiknya, maka dia pun harus bersedia menerima koreksi dan kritikan, jika dinilai salah. Tidak sehat dan berbahaya kalau dia melulu mengharapkan aleman, puji-pujian saja. Sedangkan kalau dikritik, orang-orang lalu dijebloskan ke penjara, terutama lawan politik, pers dan mahasiswa.Lain jari kaki, lain pula tangan. Berbeda dengan jari-jari kaki yang memanjang ketika seseorang menjadi presiden atau pejabat, lengan-lengan tangan mereka justru malah mengkeret. Apa sebab? Setelah menjadi pejabat, orang-orang ini jadi alergi menenteng map sendiri. Praktis tidak pernah menenteng apa-apa. Sedikit-sedikit asistennya. Menenteng map saja gengsi, konon lagi tas dan barang lainnya. Mereka beranggapan, kalau menenteng barang sendiri nanti akan mengurangi wibawa. Lama-lama tangan mereka mengkeret.Saya pernah menyaksikan sendiri betapa seorang bupati bisa bertingkah ala raja baheula. Untuk hal-hal sepele saja main titah, main suruh asistennya, seperti mengambil brosur yang cuma beberapa langkah. Ealah... begitu seterusnya sehingga sang asisten, dengan pakaian dinas, tak ubahnya kacung di zaman kolonial. Padahal akan lebih elegan dan simpatik, jika sang bupati beranjak mengambil sendiri.Malah ada pejabat yang istrinya bertingkah norak, tidak wajar lagi. Setiap hari ada saja pot-pot bunga yang harus dipindah-pindah posisi. Seperti tidak ada pekejaan lain yang lebih penting. Hingga suatu saat staf kerumahtanggaan menjatuhkan pot bunga kesayangannya, prang! Pot istimewa nan mahal itu berkeping-keping. "Aduh! Habis gimana, Bu. Potnya berat sekali." "Padahal saya sengaja menjatuhkan, karena kesal tingkahnya," ungkap staf itu kepada saya. Sesuatu yang tidak alamiah, tidak wajar dan tidak manusiawi selalu mengundang penolakan.Di Eropa seorang perdana menteri sudah biasa menenteng sendiri bawaannya atau berjalan kaki ratusan meter, kalau ada keperluan ke gedung lain. Wajar-wajar saja. Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Ekonomi Belanda Laurens Brinkhorst salah satu yang bisa disebut sangat bersahaja. Brinkhorst, Menteri Yustisi Piet Hein Donner, bahkan Ratu Belanda biasa bersepeda kalau pergi ke kantor. Pernah, seusai wawancara dengan wartawan di forum perdagangan Indonesia di Den Haag (2005), Brinkhorst langsung memborong kerajinan. Semua ditenteng sendiri dan istrinya. Bahkan mereka berdua dengan santai meletakkan belanjaannya di lantai, lalu memesan cendol dan dinikmati langsung di tempat. Tak ada asisten. Padahal dia juga besannya Ratu.Di Belanda saja feodalisme sudah lama ditinggalkan, kok kita malah masih mempraktikkan warisan mereka dari zaman penjajahan dulu? Sudah saatnya hal-hal feodalistik yang tumbuh subur di negeri kita itu dikikis habis. Lagipula ongkosnya juga sangat mahal dan membebani rakyat, kas negara/daerah dihamburkan untuk hal-hal seperti itu. Jangan ada lagi jari-jari kaki yang panjang dan tangan-tangan yang pendek mengkeret. Dua kelainan itu menghambat kemajuan negara. Terbukti kalender sudah sampai 2006, tapi kita seolah masih hidup di tahun 1906. (es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads