Sederet pakaian yang tergantung itu memiliki perpaduan pola warna yang khas. Hiasan bunga serta sejenisnya juga disematkan untuk menambah keelokan busana. Namun, siapa sangka bila setiap baju yang ada merupakan rangkaian kain perca. Adalah 'Toko Didiyo', jenama fesyen milik Nindya yang memanfaatkan deadstock fabric sebagai bahan baku utama. Di tangan wanita yang akrab disapa Indy ini, kain perca bisa disulapnya menjadi busana trendi bernilai hingga jutaan rupiah.
"Deadstock fabric itu sebenarnya adalah berasal dari supplier-supplier yang ada di Indonesia ini. Nah tapi, ada beberapa kain-kain tuh yang kelebihan stok, terus misalnya ada defect sedikit, yang orang-orang di luar ini nggak mau. Jadi, nggak jadi dikirim. Tapi jadi deadstock fabric ini mau diapain gitu? Kayak, bakal ditumpuk terus aja nih sama supplier-supplier. Nah, kita dari tim Toko Didiyo, cari nih supplier-supplier ini yang punya deadstock fabric," jelas Indy di program Sosok detikcom, Senin (5/2).
Ide Indy untuk menggunakan kain perca tak datang begitu saja. Sepuluh tahun berkarier di dunia fesyen mendorongnya untuk berinovasi. Suatu ketika, ia ingin menambah nilai dari berbagai jenis busana yang ia ciptakan. Indy pun terpercik saat ia menemukan fakta bahwa negeri ini menyimpan masalah pelik tentang limbah pakaian.
Keprihatinan Indy terhadap masalah limbah pakaian tentunya beralasan. Pada tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SIPSN mengungkapkan bahwa Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian, setara dengan 12% dari total limbah rumah tangga. Dari jumlah limbah pakaian tersebut, hanya 0,3 juta ton yang didaur ulang.
Dikutip dari laman Waste4Change, limbah pakaian dapat berdampak negatif pada lingkungan. Jika menumpuk di permukaan tanah, limbah pakaian dapat membusuk dan mengeluarkan gas metana. Gas ini termasuk salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat menyebabkan efek rumah kaca yang berkontribusi pada pemanasan global.
"Sayang juga ya, kayak deadstock fabric itu numpuk lama-lama akan rusak juga kan. Dan lama-lama ntar jadi limbah kalau kita nggak pakai, gitu. Apalagi kalau kita baca-baca di artikel, banyak sampah-sampah yang dari luar negeri itu dibuangnya ke Indonesia juga kan, entah itu sampah baju atau sampah fabric gitu. Dari situ daripada kita minta ke supplier untuk membikin kain yang baru, kenapa kita nggak pakai kain-kain yang udah ada, yang jadi deadstock fabric yang sebenarnya mau dibuang," ungkap Indy.
Konsep daur ulang perca yang digagas Indy di Toko Didiyo telah bertahan sejak 2015. Ia memasok kain perca dari penjahit-penjahit langganannya yang tersebar di Jakarta, Cirebon, hingga Bali. Kini, ia mampu memproduksi pakaian berbahan kain perca sebanyak seribu hingga lima ribu lembar setiap tahunnya.
Menurut Indy, jumlah tersebut memang tak terlalu banyak. Salah satu penyebabnya ialah keterbatasan jumlah kain yang bisa ia gunakan. Terlebih lagi, desain baju buatan Indy bersifat eksklusif-hanya ada satu desain untuk satu pakaian.
Akan tetapi, produksi yang tidak masif bukan masalah berarti Indy. Sebab, target utama ibu satu anak ini memang bukan pada kuantitas produksi. Baginya, yang lebih penting adalah proses produksi yang ramah lingkungan, nilai seni produk yang tinggi, serta hubungan yang berarti dengan konsumen.
"Target tetap jualan, tapi, lebih ke arah yang meaningful aja sih. Di mana kayak one of a kind sih. 'Ini cuma gua yang punya,' gitu. Customer kan kalau ngelihat kayak gini, ini bukan kayak kain perca. Ini kan sesuatu kayak art, gitu. Kita pengen mikirin lingkungan juga, gitu," tutur Indy.
(nel/vys)