Jakarta - Pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam 134, 136 bis, dan 137 KUHP dinilai tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Aturan ini dibuat pada masa penjajahan Belanda, untuk mempertahankan harga diri Ratu Belanda.Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian mendapatkan informasi, pasal penghinaan ini dicabut Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa permohonan Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis dikabulkan seluruhnya."Setelah menimbang dari 2 ahli hukum yaitu Mardjono Reksodiputro dan JE Sahetapy, pasal-pasal itu tidak perlu diberlakukan lagi. Landasan KUHP itu adalah zaman Belanda, dan pasal itu merupakan delik aduan," ujar Jimly saat membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (6/12/2006).MK menilai pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 huruf f tentang kebebasan menyatakan pendapat, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.Namun, dari 9 hakim konstitusi, tidak semuanya satu suara. 4 Hakim konstitusi yang memberikan perbedaan pendapat yaitu I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya, Achmad Roestandi. Argumentasi mereka, meski negara ini adalah negara hukum dan demokrasi, tetap tidak ada perlindungan bagi para pelaku penghinaan terhadap siapapun.Usai persidangan, Eggi Sudjana menyatakan peristiwa ini sebagai sejarah hukum di Indonesia. Dengan hilangnya pasal ini, perjuangan aktivis untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dapat ditingkatkan. Pembacaan keputusan MK ini juga dihadiri Sri Bintang Pamungkas. Amar putusan hakim konstitusi terdiri dari 76 halaman dengan putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
(fjr/ary)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini