Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi kewenangan jaksa melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Hibnu menilai pemberantasan kasus korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu lembaga penegak hukum saja.
"Namanya tindak pidana korupsi itu tidak mungkin hanya dilakukan oleh satu lembaga. Artinya, jaksa punya kewenangan perkara kelas kakap ditanganinya," ujar Hibnu dalam keterangannya, Rabu (17/1/2024).
Selain itu, Hibnu menilai banyaknya lembaga hukum yang berwenang menangani kasus korupsi untuk mencegah monopoli perkara. Artinya, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Hibnu juga menilai tidak ada tumpang-tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengungkapan perkara itu tidak dimonopoli satu lembaga penyidik polisi, bisa jaksa, bisa KPK itu yang harus dikembangkan. Saya kira tumpang-tindih itu sebetulnya tidak ada, karena kan ketika sudah ditangani polisi, jaksa tidak naik, ketika ditangani jaksa, polisi tidak naik, ketika mandeg ada KPK supervisi," terang Hibnu.
Menurut Hibnu, dalam penanganan tindak pidana korupsi, penyidikan itu tidak menjadi tunggal, tapi menjadi multi. Kemudian, yang terpenting saat ini dalam berbagai penyidik tersebut adalah integralitas. Disebutnya, konsep integralitas jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum merupakan terobosan luar biasa dan itu diikuti oleh KPK sebagai penyidik juga sebagai penuntut umum. Karena itu, kewenangan jaksa sebagai penyidik dan penuntut umum harus didukung.
"Kemampuan jaksa menangani kasus cukup luar biasa, melebihi KPK, karena memang kejaksaan memiliki kewenangan dari tingkat pusat sampai daerah," kata Hibnu.
Meski demikian, Hibnu menegaskan KPK tidak perlu dibubarkan kedudukannya sebagai lembaga ad hoc. Hibnu menilai lembaga antirasuah tersebut harus diperkuat lagi dengan perubahan ke undang-undang yang lama bukan yang baru. Apalagi saat ini Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia makin anjlok. Berdasarkan data Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) untuk 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara.
"IPK ini kan anjlok kemungkinan KPK harus diperkuat, bukan dibubarkan lagi, diperkuat dengan perubahan undang-undang yang lebih lama, jangan undang-undang yang baru ini yang harus kita pahami situasi dalam keadaan darurat korupsi di segala lini jadi diperkuat jangan dibubarkan," tegas Hibnu.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan pemohon M Yasin Djamaludin yang meminta agar kewenangan jaksa mengusut kasus korupsi dihapuskan. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyambut baik putusan MK tersebut karena dinilai menguatkan kewenangan jaksa dalam penyidikan kasus korupsi.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana, menyampaikan hasil putusan MK, dalam keterangannya, Rabu (17/1).
Putusan tersebut dibacakan MK pada Selasa (16/1) kemarin. Merespons putusan itu, Kejagung memberi apresiasi.
"Kejaksaan RI melalui siaran pers ini mengapresiasi atas putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya dalam uji konstitusional kewenangan Jaksa melakukan penyidikan, khususnya tindak pidana korupsi," kata Ketut.
Simak video 'Dewas soal Modus Pungli Rutan KPK: Misalnya HP untuk Komunikasi':