Gugat UU PPHI, Buruh Ceritakan Duka Beperkara di Pengadilan

Gugat UU PPHI, Buruh Ceritakan Duka Beperkara di Pengadilan

Andi Saputra - detikNews
Senin, 25 Des 2023 10:47 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
Gedung MK (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Seorang buruh bernama Muhammad Hafidz menggugat UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menggugat biaya panjar perkara dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) agar juga ditanggung pihak yang kalah dan pihak lainnya.

Adapun norma yang dimohonkan untuk diuji di MK adalah Pasal 82 dan frasa 'putusan Pengadilan Hubungan Industrial' pada Pasal 97 UU PPHI.

Selengkapnya Pasal 82 UU PPHI menyatakan:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha".

Kemudian, Pasal 97 UU PPHI menyatakan:

ADVERTISEMENT

"Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial".

Dalam petitum, penggugat meminta MK menyatakan Pasal 82 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian menyatakan frasa 'putusan Pengadilan Hubungan Industrial' pada Pasal 97 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai:

"Putusan Pengadilan Hubungan Industrial selain menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya perkara, wajib pula untuk menetapkan pihak lainnya yang menerima pembayaran biaya perkara sebagai pengganti panjar biaya perkara yang telah dibayarkan terlebih dahulu."

Untuk menguatkan dalilnya, penggugat mengajukan temannya sebagai saksi, yaitu Ngadinah, yang pernah bekerja di perusahaan pabrik Sepatu di Tangerang, sejak 1995 sampai 2004.

"Besaran upah bagi pekerja industri sepatu yang termasuk dalam kualifikasi industri padat karya, maka upah yang diterima saksi tidak lebih dari upah minimum, kecuali perusahaan menyuruh untuk bekerja lembur. Selama bekerja di pabrik sepatu, perusahaan melakukan pelanggaran normatif, seperti hak cuti haid yang tidak diberikan, kebebasan berserikat, dan lainnya," kata Ngadinah sebagaimana dilansir website MK, Senin (25/12/2023).

Ngadinah berkisah pada 1999 ia bergabung dengan Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu (Perbupas). Di Perbupas Ngadinah dipercaya menjadi Sekretaris. Pada September 2000, Ngadinah bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja selama empat hari menuntut agar perusahaan memberikan hak kebebasan berserikat, hak cuti haid, uang makan, dan pemberian uang pesangon apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kemudian, pada 23 April 2001, Ngadinah ditahan di LP Tangerang atas tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan menghasut. Ngadinah ditahan selama 29 hari dan kemudian diputus bebas oleh Pengadilan.

"Saksi pernah mendampingi teman-teman buruh di Jakarta Utara yang berjumlah 41 orang. Mereka mengalami pemutusan hubungan kerja hingga ke pengadilan hubungan industrial, karena mendirikan serikat buruh di tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Selama dua tahun memperjuangkan hak-haknya dengan menolak pemutusan hubungan kerja dan sudah tidak pernah diberikan upah, mereka bekerja serabutan agar tetap bisa bertahan hidup," terang Ngadinah.

Untuk bisa datang sidang ke pengadilan, lanjut Ngadinah, para buruh mengumpulkan hasil kerja serabutan agar bisa membayar panjar biaya pengadilan. Walau tidak semua buruh bisa patungan, tetapi bagi para buruh yang saat itu sedang tidak bekerja, maka sekecil apa pun uang yang mereka kumpulkan adalah hasil dari menghemat makan sehari-hari.

"Bagi buruh, seperti yang saksi lihat sendiri, mengumpulkan uang untuk membayar biaya perkara di pengadilan adalah dengan mengurangi atau menyisihkan biaya makan sehari-hari dari pekerjaan yang serabutan. Bahkan ada juga yang menjual barang miliknya, agar kasusnya bisa ditangani oleh pengadilan," kisah Ngadinah.

(asp/knv)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads