Di balik pesona dan potensi alam yang melimpah, sebuah pulau terluar di wilayah Indonesia masih menyimpan banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Terutama adalah terbatasnya akses pelayanan publik mulai dari kesehatan hingga pendidikan.
Hal tersebut dirasakan langsung oleh masyarakat di beberapa pulau di Halmahera Utara. Di mana mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit jika ingin mendapatkan pelayanan publik seperti berobat.
Banyak faktor mengapa pelayanan publik memang belum bisa sepenuhnya hadir di beberapa pulau, salah satu alasannya adalah aksesibilitas. Diketahui, wilayah Halmahera Utara didominasi dengan lautan, maka akses untuk menuju ke sana mau tidak mau hanya bisa dijangkau dengan kapal yang itu pun tidak setiap hari bisa melaut.
Tapi kini masyarakat di beberapa pulau Halmahera Utara bisa bernafas lega. Pasalnya, kesulitan yang mereka alami kini bisa terbantu karena hadirnya peran aktif dari Polairud (Polisi Perairan dan Udara) Polres Halmahera Utara).
Memahami akan kendala yang dihadapi oleh para masyarakat di kepulauan, Polairud yang bermarkas di Tobelo ini kerap menjemput bola untuk turun langsung dan menyelesaikan permasalahan masyarakat. Selain melakukan patroli memastikan keamanan, Polairud juga rutin melakukan apa yang disebut dengan sambang pesisir dan memberikan bantuan langsung ke masyarakat di kepulauan.
Kasat Polairud Polres Halmahera Utara, Ipda Pijar Bella mengatakan kegiatan tersebut memang dilakukan karena 78% daerah Halmahera Utara adalah perairan. Dari 78% tersebut, terdapat 48 pulau dengan 13 pulau yang berpenghuni.
Masyarakat yang menempati 13 pulau tersebut, umumnya adalah nelayan. Selama melaut mencari ikan, para nelayan kerap menghadapi nelayan atau pelaut luar yang memasuki wilayah Halmahera Utara. Karena itulah, peran Polairud dibutuhkan.
"Biasanya (nelayan atau pelaut luar masuk) tidak sesuai dengan izin untuk peruntukan alat yang digunakan. Jadi masyarakat kita merasa terganggu, karena mereka punya alat lebih canggih. Sedangkan masyarakat kita di sini masih menggunakan alat-alat yang tradisional seperti itu," cerita Pijar pada detikcom beberapa waktu lalu.
Apalagi di wilayah Loloda dan Pulau Dama disebut menjadi gerbang masuknya nelayan-nelayan Filipina yang mengambil ikan menggunakan bom ikan. Kegiatan itu tentunya bisa merusak biota laut, karena itu Polairud sering melakukan patroli rutin mengelilingi wilayah lautan di Halmahera Utara.
"Sesuai jadwal bulanan kami, dari Satpolair Halmera Utara, itu 18 hari patroli selama satu bulan. Kemudian, patrolinya itu, bukan sekedar patroli. Kita pun melakukan sambang, sambang ke masyarakat, agar polisi perairan ini bisa lebih dekat dengan masyarakat," terang pijar.
Sambang ke masyarakat adalah cara untuk bersilaturahmi ke masyarakat dengan cara menggelar sosialisasi mengenai larangan bom ikan, penggunaan alat tangkap yang tepat untuk melaut dan juga pentingnya menjaga ekosistem laut, Selain itu, Polairud di Tobelo juga siap menerima laporan jika ada nelayan-nelayan lokal maupun asing yang masuk perairan menggunakan bom ikan.
"Termasuk mengenai pengobatan gratis. Itu rutin juga kami lakukan karena jangkauan masyarakat ke kota itu biasanya harus mengeluarkan dana Rp 300-500 ribu. Dengan keberadaan kita ke sana, bisa mengurangi beban mereka (untuk berobat)," papar Pijar.
(akn/ega)