Ketika putrinya didiagnosa dengan down syndrome, benak Nini Andrini dipenuhi berbagai pertanyaan. Nini gundah, tidak tahu apa yang ia mesti lakukan untuk membersamai tumbuh kembang sang buah hati. Lebih-lebih, Nini juga khawatir putrinya akan mengalami perundungan karena disabilitasnya.
Selang 26 tahun sejak diagnosa tersebut, putri Nini tumbuh menjadi gadis penuh talenta. Bernama Namira Zania Siregar, ia adalah penari profesional, model, dan fasilitator di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia. Salah satu prestasi terbesarnya adalah menjadi model down syndrome pertama yang tampil di Jakarta Fashion Week.
"Perkembangannya sangat luar biasa sih. Dulu Namira itu, dia bisa mengerti instruksi, tapi dia nggak bisa keluar suaranya. Akhirnya saya terus terapi, sampai dia itu baru mulai bisa bicara itu di usia delapan tahunan. Sampai akhirnya sekarang bahkan dia komunikasinya sudah sangat lancar banget, ngomongnya juga sangat baik, bahkan dia sudah bisa menjadi seorang fasilitator," terang Nini di program Sosok detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesuksesan Namira tak diraih dalam waktu singkat. Perjuangan berat mesti ditempuhnya, baik dari kerasnya latihan, hingga menghadapi perundungan akibat kondisinya.
"Waktu saya sekolah di TK, (orang di sekitar bilang) 'Itu orang ngapain sih ngomong sendiri? Gila, gila. Is she crazy?' Aku nggak gila, gitu. Aku nggak crazy. Pernah kayak gitu. (Aku jadi) minder banget," kenang Namira.
Kondisi Namira yang kerap dipandang sebelah mata juga sempat mempengaruhi benak Nini. Berbagai omongan negatif dari orang sekitar juga sering membuat benak Nini terasa sakit.
"Waktu itu cuma baru merintis lah dunia model. Namira ngasih lihat (komentar orang) ke saya, ada orang yang mengatakan, 'Lo model apa? Otak lo aja nggak ada.' Sampai yang terakhir itu, ada seseorang mengatakan bahwa seorang anak down syndrome itu lahir dari orang tua yang pendosa. Jadi banyak sekali hal-hal seperti itu yang kita alami," aku Nini.
Namun, Nini dan Namira memilih bangkit. Bagi Nini, kasih sayangnya terhadap Namira melebihi rasa sakit hati yang ia alami karena perundungan orang-orang terhadap keluarganya.
Nini justru menganggap komentar negatif yang diterimanya dan Namira sebagai cambuk semangat. Ia yakin, dengan pendampingan yang optimal, ia bisa mendukung Namira menjadi versi terbaiknya.
"Jangan pedulikan hal-hal yang seperti itu, justru omongan-omongannya seperti itu, jadikan cambuk bagi kita untuk membuat anak kita bisa lebih maju dan mematahkan stigma yang ada bahwa, apa yang mereka katakan tentang seorang anak Down Syndrome itu tidak begitu. Mereka bisa selama mereka dikasih kesempatan, namun memang mereka butuh waktu lebih lama," ucap Nini.
Perjalanan Namira juga disaksikan oleh Karina Syahna. Sejak 2013, ia telah menggembleng Namira dalam dunia tari. Ia tergabung di sanggar tari Gigi Art of Dance yang menaungi kelas tari untuk penyandang down syndrome.
Sebagai seniman tari, Karina mengamati, inklusivitas dalam industri pertunjukan perlahan-lahan menunjukkan kemajuan. Menurutnya, penampil dengan disabilitas semakin punya ruang di panggung-panggung pertunjukan. Hanya saja, penampil dengan disabilitas intelektual seperti down syndrome masih kurang terlibat di pertunjukan-pertunjukan dengan jadwal padat seperti televisi.
"Untuk dunia profesional industri TV yang timeline-nya itu kan semua cepat. Bukan berarti nggak bisa, tapi kalau emang mereka mau dilibatkan, terutama kita ngomongnya konteksnya down syndrome ya, cara kamu harus bicara sama mereka berbeda, itu kan takes time. Cara men-direct di atas panggung, showmanship di atas panggung on air, itu harus diajarkan," jelas Karina.
Karina menyebut, butuh kerja sama berbagai pihak untuk mendukung kesuksesan Namira. Senada dengan Nini, Karina juga menekankan pentingnya dukungan keluarga.
"Yang bikin gagal atau nggak, biasanya cuman karena masalah dari kita. Support system-nya yang either kita trainer-nya, kita pendampingnya, atau orang tuanya pun yang nggak mau berproses sama anaknya. Jadi, bukannya mereka nggak bisa, tapi justru pendampingannya yang harus benar," terang Karina.
Kehadiran Namira telah menambah satu lagi representasi disabilitas di jagad seni Indonesia. Lebih dari itu, pencapaian Namira memberi harapan bagi para pendamping anak dengan down syndrome.
Eksistensi Namira seakan menegaskan, bahwa terlahir dengan down syndrome bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ia bisa menjadi pembuka bagi banyak keberkahan. Semua itu dicapai selama terdapat kerja keras serta dukungan dari orang-orang sekitar, terutama keluarga.
(nel/vys)