Kain Tenun Sumba Jadi Pembungkus Jenazah, Nilainya Tembus Puluhan Juta

Dea Duta Aulia - detikNews
Senin, 04 Des 2023 11:30 WIB
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Waingapu -

Keberagaman Indonesia tidak hanya sebatas perbedaan bahasa dan agama saja. Lebih luas lagi, Indonesia memiliki berbagai budaya dan kesenian yang cenderung berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.

Dikutip dari website Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Indonesia memiliki 742 bahasa atau dialek. Serta berbagai suku dan sub suku dengan jumlah tidak kurang dari 478 suku.

Menariknya, keberagaman tersebut terlihat dari sejumlah beragam warna-warni corak dan bahan pakaian yang digunakan setiap suku. Bahkan hampir setiap suku memiliki pakaian tradisional yang cenderung berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan itu lah yang menghadirkan warna-warni keberagaman dan patut dijaga oleh setiap orang di Indonesia.

Dari sekian banyak suku, ada yang cukup mencuri perhatian yakni Suku Sumba. Sebab pakaian tradisional miliki Suku Sumba mayoritas dibuat dari tenun. Bahkan proses pembuatannya masih banyak yang menggunakan cara-cara tradisional untuk tetap mempertahankan nilai yang terkandung

Pemerhati Kebudayaan Sumba, Umbu Asminto Candra Domu Pandarangga mengatakan kain tenun merupakan warisan budaya yang tidak bisa terlepaskan oleh masyarakat Sumba. Bahkan kain tenun sudah menjadi ciri khas dari masyarakat Sumba.

Dia mengatakan hal tersebut terjadi karena kain tenun Sumba digunakan tidak hanya untuk fesyen saja. Namun juga memiliki makna yang lebih dalam dan kerap digunakan di berbagai kegiatan adat Sumba.

"Tenun ini kan sakral sekali. Seluruh kegiatan adat Sumbar pasti pakai kain tenun," kata Umbu Asminto kepada Tim Tapal Batas detikcom di Waingapu, NTT, beberapa waktu lalu.

Kain Tenun Sumba Jadi Pembungkus Jenazah, Nilainya Tembus Puluhan Juta (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)

Dia mengatakan kain tenun tidak hanya digunakan untuk mereka yang masih hidup saja. Jenazah masyarakat Suku Sumba semua golongan bangsawan hingga orang biasa pun turut memanfaatkan kain tenun dalam proses upacara kematian.

Menurutnya, kain tenun dimanfaatkan untuk membungkus jenazah masyarakat Suku Sumba sebelum dikuburkan. Menariknya, dia menjelaskan, proses pembungkusan jenazah memiliki perbedaan dengan proses pada umumnya. Di mana biasanya, jenazah bakal dalam posisi telentang dengan tubuh yang lurus.

Umbu Asminto Candra Domu bercerita posisi jenazah masyarakat Suku Sumba tidak seperti itu. Namun mereka akan membuat jenazah dalam kondisi ditekuk layaknya posisi seperti bayi di dalam rahim ibu.

"Kalau penguburan jenazah itu tidak tiduran seperti pada umumnya. Biasanya ditekuk jadi seperti kondisi pada rahim dan dikafani dengan tenun," tuturnya.

Jika sudah pada posisi seperti itu, jenazah akan diletakan di tengah-tengah hamparan kain tenun. Dari situ lah, kemudian jenazah akan dibungkus dengan berlapis-lapis kain tenun.

"Itu khusus kepercayaan Marapu. Tenunnya lebih dari satu. Jadi nanti bentuk jenazahnya (setelah dibungkus) seperti drum," jelasnya.

Kalau sudah dibungkus, jenazah bakal tetap ada di rumahnya hingga bertahun-tahun atau puluhan tahun sampai pada akhirnya dikubur.

Kepercayaan masyarakat setempat, jenazah yang sudah dibungkus kain tenun tetap harus diberikan makan dan minuman kesukaannya.

"Terus biasanya penguburunnya ada yang sampai puluhan tahun ada yang sampai waktunya singkat. Setiap hari jenazah yang belum dikubur harus dikasih makan dan minum. Makanan dan minuman kesukaannya apa harus dikasih," ungkapnya.

Meskipun tidak langsung dikuburkan, dia mengatakan jenazah yang dibungkus kain tenun tidak mengeluarkan aroma tidak sedap. Menurutnya, aroma yang justru dikeluarkan seperti tanah yang baru tersiram air hujan.

"Kain tenunya yang menggunakan perwarna alami. Jadi nanti aroma (jenazahnya), aroma herbal seperti, aroma tanah ketika hujan pertama," jelasnya.

Prosesi pembungkusan jenazah dengan kain tenun inipun dibenarkan oleh tokoh masyarakat Kampung Raja Prailiu, Sumba Timur, Mama Renot. Menurutnya, budaya membungkus jenazah dengan kain tenun sudah ada sejak zaman dahulu dan masih diwariskan oleh masyarakat Sumba, khususnya bagi mereka penganut kepercayaan Marapu.

Dalam proses pembungkusan, dia mengatakan biasanya keluarga yang berduka menyiapkan dua lembar kain saja. Namun setiap keluarga jauh yang datang bakal membawa kain tenun untuk diberikan kepada keluarga yang berduka. Kain-kain dari keluarga jauh ini lah yang banyak dimanfaatkan untuk membungkus jenazah.

"Ketika dia baru meninggal mungkin 2 lembar siapkan (oleh keluarga inti) tapi setelah seluruh keluarga datang untuk melayat mereka masing-masing membawa satu lembar (tenun). Jadi ketika sudah saatnya dikafani dia, diambil sudah kain-kain yang dibawa keluarga untuk dibungkus (ke jenazah)," kata Mama Renot.

Menurutnya, kain yang dibalut ke jenazah bisa mencapai 30 sampai 50 lembar lebih. Menurutnya, tebalnya balutan tersebut juga mampu membuat jenazah tidak mengeluarkan aroma tidak sedap.

"Jenasah dibalut kain 30 lembar untuk semua strata. Rata-rata di sini sekitar 50 ke atas," jelasnya.

Dia mengakui kalau dihitung dalam rupiah, maka total kain tenun yang membalut jenazah bisa sampai tembus puluhan juta rupiah. Sebab harga satu kain lembar tenun Sumba berukuran besar biasanya dihargai mulai dari Rp 2 juta sampai puluhan juta per lembar.

"Kain di sini harganya macam-macam kalau yang besar dari Rp 2 jutaan sampai Rp 15 juta juga ada," ungkapnya.

Kain Tenun Sumba Jadi Pembungkus Jenazah, Nilainya Tembus Puluhan Juta (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)

Mama Renot yang juga pengrajin tenun ini mengatakan tingginya harga tenun tersebut tidak terlepas dari proses pembuatannya yang cukup sulit. Apalagi setiap kain tenun bisanya menghadirkan cerita tersendiri dari hasil imajinasi pembuatnya.

"Ini proses (pembuatannya) masih dalam sistem manual dan tradisional semua. Alat-alat kerjanya manual semua," jelasnya.

"Untuk motif semua merupakan identik dengan Adat Sumba. Terus dengan alamnya. Karena memang orang tua kami dahulukan dikenal dengan 'sandelwood' jadi ketika mereka berburu selalu menggunakan tombak dan kuda," sambungnya.

Adapun untuk penjualan kain tenun biasanya dirinya memanfaatkan dua sistem transaksi yang dilakukan yakni konvensional dan daring. Kalau penjualan konvensional para pembeli bisa langsung datang ke Kampung Raja Prailiu.

Sementara itu, untuk daring masih hanya sebatas chat WhatsApp dan Instagram saja. Namun dia mengatakan lebih banyak yang mengandalkan via WA. Dia mengakui penjualan melalui internet menghadirkan tantangan tersendiri. Sebab mereka harus bisa bersaing dengan kain tenun lainnya yang harganya cenderung lebih murah.

"Kalau Mama jualan dikunjungi atau juga via WA. kalau shopee atau Tokopedia itu belum. Saya hanya di IG saja. itu juga tidak juga followers-nya banyak. Online-nya hanya via WA pembelinya dari Kota Jakarta," ungkapnya.

Sebagai informasi, tersedianya jaringan internet di Sumba Timur tidak terlepas dari kehadiran Proyek Palapa Ring Timur yang dijalankan oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti Kominfo). Proyek ini melibatkan kombinasi kabel laut dan darat untuk menghubungkan internet dari Indonesia wilayah bagian Barat, Tengah dan Timur.

Adapun kabel bawah laut tersebut bakal dipertemukan dengan kabel darat di Beach Manhole (BMH) yang berada tidak jauh dari Pantai Walakiri, Sumba Timur. Dari BMH itu, kabel diteruskan menuju NOC Palapa Ring, setelah itu disalurkan ke Base Transceiver Station (BTS) yang menggunakan transmisi microwave. Kemudian jaringan tersebut bakal disebar ke sejumlah BTS lainnya yang berada dalam jangkauan area. Setelah itu, akses internet pun bisa dinikmati oleh masyarakat.

detikcom bersama Bakti Kominfo mengadakan program Tapal Batas mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, wisata, dan teknologi di wilayah 3T setelah adanya jaringan internet di beberapa wilayah terdepan Indonesia. Untuk mengetahui informasi dari program ini ikuti terus berita tentang Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!




(anl/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork