Kisah Pilu Jugun Ianfu
Tak Diakui Keberadaannya Hingga Rahim Rusak
Sabtu, 11 Nov 2006 05:22 WIB
Jakarta - Penderitaan para Jugun Ianfu ternyata sangat berat. Pada masa muda disiksa, dan sampai sekarang pun pemerintah belum mengakui keberadaannya."Bukan salah saya, bukan salah saya," kata Mardiyem sambil terisak-isak menutup mukanya seakan menyimpan sebuah beban yang sangat berat.Itulah sepenggal adegan dalam film berjudul "Yang Terlupa", berkisah tentang para Jugun Ianfu, perempuan yang dipaksa untuk melayani nafsu seks tentara Jepang pada tahun 1942-1945. Pemutaran film ini dilakukan dalam acara diskusi "Perjuangan Hak-hak Asasi Jugun Ianfu" di Kantor DPP PNBK, Jl penjernihan, Jakarta, Jumat (10/11/2006). Selanjutnya, Mardiyem pun berkisah. Waktu itu, katanya, ada tetangganya yang baru pulang dari Kalimantan mengajaknya ke Yogyakarta. Karena kebetulan di tempat tetangganya bekerja sedang butuh penyanyi."Saya waktu itu pintar menyanyi keroncong," katanya dengan suara pelan. Sedianya dia diajak untuk bermain sandiwara, Panca Surya nama kelompoknya. Dari Yogya, dia dibawa ke Surabaya untuk menjalani tes kesehatan, dan kemudian dibawa naik kapal ke Kalimantan Timur, dia dibawa ke Telawang, Kalimantan Selatan, kemudian disekap di sebuah rumah baru yang sudah terdapat kamar-kamarnya. "Nama saya kemudian diganti menjadi Momo Ye. Sulit saya mengingat masa lalu, terlalu parah" ceritanya.Mardiyem kala itu masih berumur 13 tahun, belum lagi datang 'bulan' yang menandai seorang wanita telah dewasa, tiba-tiba dia dipaksa untuk melayani nafsu tentara Jepang. Sehari bisa 15 tentara yang dilayaninya dengan terpaksa. Pendarahan dari organ reproduksinya pun tidak bisa dihindari. "Keluar darah terus menerus, sempat diobati dan kering. Hingga akhirnya tahu-tahu saya hamil," beber Mardiyem.Begitu tahu dirinya hamil, pihak tentara Jepang langsung berusaha untuk menggugurkan. "Perut saya ditekan secara paksa pada usia kandungan 5 bulan," tuturnya.Sambil menunjukkan kesedihan hingga kerut-kerut kulit keriputnya semakin jelas, Mardiyem pun menceritakan kisah anaknya yang mampu bertahan hidup meski dipaksa untuk aborsi oleh tentara Jepang. "Saya beri nama Mardiyama, Mardiyem nama saya, dan Yama nama orang Jepangnya," paparnya. Mardiyem akhirnya menikah tahun 1946, dengan tentara KNIL yang menjadi romusha. Pulang kembali ke Joga dan sempat mempunyai satu anak yang dilahirkannya tahun 1947. Setelah itu, setiap hamil Mardiyem selalu keguguran, setelah diperiksa ternyata organ reproduksinya sudah rusak, sehingga tahun 1950 rahimnya diangkat.Mardiyem sempat berangkat ke Jepang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai Jugun Ianfu. Dia beserta empat Jugun Ianfu lainnya didampingi empat pengacara dari sejumlah LSM berjuang di pengadilan masyarakat internasional, Tribunal, Tokyo tahun 2000 lalu. Pengadilan pun memenangkan gugatan seluruh Jugun Ianfu se Asia, dan menyatakan bersalah kepada Kaisar Akihito, karena melakukan kejahatan kemanusiaan secara sistematis. Masyarakat Jepang sendiri menganggap bahwa Jugun Ianfu hanyalah PSK biasa, dan tidak memandang adanya kejahatan perang. Di dalam negeri, Mardiyem juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden SBY tentang nasib Jugun Ianfu, namun sampai sekarang tidak pernah ditanggapi. Sekarang Mardiyem hidup di Yogya dengan anak tunggalnya. Dia hanya meminta pemerintah Jepang untuk minta maaf kepada eks Jugun Ianfu."Korban yang menjadi Jugun Ianfu juga harus disebarluaskan, dan hentikan kejahatan terhadap perempuan," pinta Mardiyem.
(nwk/ahm)