Kehidupan Syaipul Rachman bisa saja berbeda 180 derajat jika ia tak pernah bertemu Dindin Komarudin. Abah Dindin, begitu Ipul biasa menyapanya, adalah sosok yang memperkenalkannya pada ilmu daur ulang sampah 23 tahun lalu.
Ipul kecil banyak menghabiskan waktu di jalanan. Ia adalah pengamen, penyemir sepatu, penjual koran, hingga anggota kelompok pencurian motor. Semua dilakukan Ipul demi membantu perekonomian keluarganya. Inilah yang menyebabkan hati Ipul tak pernah tenang. Bayang-bayang ketidakpastian akan keselamatan di jalan terus menghantuinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu hari, seorang pria menghampiri Ipul saat mengamen. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Dindin. Penampilan Dindin tidak jauh beda dari Ipul dan kawan-kawannya di jalanan. Berkaus belel, mengenakan aksesoris gelang, membawa gitar, dengan rambut yang dicat pirang. Sejak saat itu, Dindin kerap nongkrong dengan Ipul dan kelompoknya. Hingga suatu ketika, Dindin pun mengajak Ipul ke rumah singgah yang ia dirikan. Rumah singgah yang tak bernama itu merupakan tempat kegiatan daur ulang sampah yang dilakukan anak-anak seperti Ipul: anak jalanan.
"Pada waktu itu sih saya belum tertarik banget lah. Lebih pilih ngamen yang langsung dapat duit hari itu juga, gitu. Berapa lama kemudian, saya coba, pengin tahu daur ulang itu bikin daur ulang itu seperti apa sih sebenarnya. Coba mengikuti, seminggu, dua minggu, sampai tiga minggu. Mulai ketagihan, senang gitu. Maksudnya, berkarya di daur ulang itu enak juga," kenang Ipul di program Sosok detikcom.
Bukan tanpa alasan Dindin mendirikan rumah singgah tersebut. Ia prihatin melihat anak-anak jalanan yang rentan akan diskriminasi dan stigma negatif. Dindin ingin membuat wadah di mana anak-anak jalanan diterima dengan baik, serta melakukan kegiatan positif di waktu luang.
"Saya ingin mengajak mereka, bukan nggak boleh ngamen, silahkan ngamen, tapi ada waktu yang bisa lebih kita manfaatkan nih untuk dapat duit. Terus nggak ada orang lagi yang ngejek gitu. Karena waktu kita di jalanan tuh dianggapnya sampah, gitu. Disepelekan, dan lain-lain. Padahal ini teman-teman tuh punya potensi yang keren. Cuma bagaimana orang-orang memberikan trust, memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuktikan," jelas Dindin.
Rumah singgah tersebut kini bermetamorfosis menjadi sebuah yayasan. Sejak tahun 2008, Dindin mendaftarkan rumah singgahnya dengan nama Yayasan Kumala (Kreatif Usaha Mandiri Alami). Yayasan yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan ini membina anak-anak jalanan dengan kegiatan pengelolaan sampah.
Produk daur ulang sampah Yayasan Kumala juga beragam, seperti kertas seni daur ulang yang berbahan dasar kertas bekas dan sampah organik. Kertas seni daur ulang tersebut kemudian bisa diproduksi menjadi produk paper bag, packaging box, hingga kotak hantaran.
Yayasan Kumala juga memproduksi alat makan seperti cangkir kuksa, sendok, dan lain-lain dengan bahan baku bubut kayu bekas. Selain itu, terdapat pula produk daur ulang plastik seperti tali, mangkok, dan sebagainya. Semua produk tersebut bisa dipesan melalui toko online Kumala-Indonesia. Yayasan Kumala juga mendistribusikan produknya di berbagai perusahaan swasta maupun instansi pemerintahan.
Kesuksesan Yayasan Kumala tidak diraih begitu saja. Sejak masih berupa rumah singgah, Yayasan Kumala kerap dipandang sebelah mata karena dianggap 'sarang' anak jalanan. Mereka dianggap mengancam keamanan setempat.
Tak hanya itu, hambatan juga kerap datang dari anak-anak didik Dindin sendiri. Seringkali anak didik yang merasa bosan di yayasan memutuskan pergi begitu saja. Ada pula kejadian saat anak-anak didik menggondol pergi beberapa mesin milik yayasan. Ipul sendiri mengaku pernah terjerat narkoba dan membuatnya mesti ditebus sekian puluh juta oleh Dindin di kantor polisi.
Namun, semua itu tak kemudian membuat Dindin ingin berhenti merangkul anak-anak jalanan. Bagi Dindin, semua berhak mendapat kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, terlepas apapun kesalahannya. Ipul menyebut, 'Abah'-nya mungkin saja masih bisa memaafkan seseorang bahkan setelah kesalahan yang ke seribu kali.
"Di sini, mau 10 kali, mau 1000 kali lu berbuat jahat, Abah tetap menerima. Abah selalu senang sama orang yang benar-benar mau berubah. Walaupun dia niat berubahnya cuma di mulut, gitu ya. 'Pada suatu saat, lu bakal jera kok,' si Abah pemikirannya gitu. Mungkin sekarang belum, besok belum. Mungkin nanti, tahun depan, mungkin lima tahun lagi. Abah punya keyakinan pasti akan berubah," jelas Ipul.
Ipul adalah satu dari sekian banyak anak-anak jalanan yang pernah singgah di yayasan Dindin. Bahkan, Ipul kini berstatus pengurus tetap di Yayasan Kumala. Di Kumala, Ipul aktif berkarya di bidang pengelolaan sampah, baik sebagai praktisi maupun trainer.
Kerasnya kehidupan jalanan bukan lagi tempat Ipul mengadu nasib. Sebaliknya, ia kini menikmati kehidupan yang aman dengan 'keluarga' yang ia peroleh di Yayasan Kumala.
"Kumala ini rumah buat saya. Masa iya kita mau ngotorin rumah sendiri? Saya makan di sini, nyari duit di sini, segala macam di sini, masa saya kotorin? Nggak mungkin. Bakalan saya angkat, pokoknya. Sebisa mungkin, kalau saya. Bakalan junjung tinggi nih sama si Abah," tandas Ipul.
Transformasi Ipul dan anak-anak didik lainnya seakan membuktikan keyakinan Dindin, bahwa anak-anak jalanan hanya perlu diberi kesempatan. Bagi Dindin, tak ada kata akhir untuk merangkul kebaikan, khususnya kepada mereka yang sering diabaikan.
(vys/vys)