Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri menggelar diskusi publik berjudul 'Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik'. Usai putusan MK soal usia capres-cawapres, kondisi negara dianggap mengkhawatirkan.
"Jujur saya mengundang bukan atas lembaga apa pun, tetapi atas nama pribadi rakyat Indonesia yang sangat concern dan sangat memperhatikan dan mengkhawatirkan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam dua bulan terakhir ini," ucap Rokhmin, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Acara ini turut dihadiri para pakar hukum tata negara, seperti Bivitri Susanti, dan pengajar filsafat dan etika, Frans Magnis Suseno. Bivitri menilai dinasti politik merupakan bagian dari cara berpolitik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Politik dinasti adalah soal cara berpolitik bukan soal keluarganya. Keluarga politik buat saya itu wajar. Namun saya mengingatkan bahwa politik dinasti menurut para ahli ilmu politik bukan sekedar politik keluarga," ujarnya.
"Ketika membicarakan politik dinasti sebenarnya kita tengah membicarakan sistem yang memungkinkan kekuasaan diberikan secara turun-temurun seperti zaman dinasti dulu, bukan di zaman modern yang nggak ada soal kapasitas politiknya, nggak ada soal pengalamannya, nggak ada suara rekam jejak pokoknya asal diberikan secara turun-temurun. Itulah cara berpolitik yang salah," tambahnya.
Hal senada disampaikan Frans. Menurutnya, penguasa saat ini tanpa malu membangun dinasti kekuasaan keluarga.
"Dan tahun-tahun terakhir dengan dukungan presiden mengebiri KPK. Penguasa tanpa malu mencoba membangun dinasti keluarga dan kekuasaan keluarga," ucapnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Prof Zainal Arifin Mochtar membeberkan rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini di Indonesia. Mulai dari pengajuan batas usia capres-cawapres, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hingga pelanggaran etik berat hakim MK Anwar Usman.
"Saya kira kita sudah berhadapan dan selesai pembicaraan kita soal buramnya demokrasi. Nah sekarang adalah musim panggilan untuk menyelamatkan demokrasi," ucapnya.
Adapun Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, bicara soal tiga indikator demokrasi yang perlahan rusak.
"Dari tiga indikator besar demokrasi, pertama ruang kebebasan, dua ruang oposisi dan ketiga sistem pemilu. Yang kedua ini sudah tidak diragukan lagi mengalami kerusakan. Nah yang ketiga ini sedang mengalami kerusakan, sistem pemilu. Dan kalau tiga-tiga ini rusak, Indonesia tidak layak lagi disebut negara demokrasi," ujarnya.
Simak juga Video: Sudah 2 Kali Prabowo Bicara tentang Dinasti Politik