Cucu Kapolri ke-5 Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Rama Hoegeng, membagikan kisah sang kakek dan kampung halaman mereka, Kota Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng). Rama menyebut kenangan di Pekalongan yang membentuk Jenderal Hoegeng menjadi sosok polisi yang hidup sederhana dan menjunjung tinggi integritas serta kejujuran hingga akhir hayat.
"Di sinilah, di kota ini, Eyang Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921. Eyangkung adalah anak sulung dari pasangan Bapak Soekario Kario Hatmodjo dengan Ibu Oemi Kalsoem. Ayahanda Eyangkung adalah Kepala Jaksa Karesidenan Pekalongan. Saat ini, rumah keluarga kami di Pekalongan sudah rata dengan tanah," kata Rama mengawali ceritanya saat memberi sambutan di acara Peresmian Monumen Jenderal Hoegeng, Pekalongan, Jateng, Sabtu (11/11/2023).
Rama mengatakan rumah keluarganya sengaja dihancurkan oleh kakek buyut serta kakeknya di masa pra-kemerdekaan agar tak dimanfaatkan penjajah. Dan usai rumah tersebut rata dengan tanah, kakek buyutnya memberikan pesan kepada Jenderal Hoegeng, yang hingga ini menjadi patron bagi keluarganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena beliau hancurkan beserta isinya bersama Eyangkung, saat penjajah masuk ke kota ini, dengan maksud tujuan agar tidak digunakan oleh penjajah untuk kegiatan mereka. Menurut info, rumah keluarga kami persis di depan Stasiun Pekalongan. Dan di saat itulah wasiat pesan dari Eyanguyut kami kepada Eyang Hoegeng disampaikan dan menjadi patron turun-temurun hingga saat ini, dan tetap kami pegang serta jadikan panduan, pondasi dalam kami menjalani hidup ini," jelas Rama.
Rama kemudian menirukan kata-kata kakek buyutnya kepada Jenderal Hoegeng. "Wasiat pesannya adalah, 'Geng, Kita sudah tidak punya apa-apa. Yang tersisa hanyalah nama baik. Maka jaga sampai anak cucu keturunan'," ungkap Rama.
Tak hanya untuk kakeknya, Pekalongan juga menyimpan cerita tentang neneknya, Meri Hoegeng. Di Pekalongan, sang nenek mendapat anugerah warga kehormatan karena turut membantu para pejuang yang terluka saat melawan penjajah.
"Di Kota Pekalongan ini juga. Eyangti atau Ibu Meriyati dianugerahi Warga Kehormatan Kota Pekalongan. Hal ini dikarenakan saat semasa gadis, Meri muda bersama dua adiknya menjadi tiga gadis penolong korban peperangan 3 Oktober di Pekalongan," ucap Rama.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Rama menceritakan neneknya mengibarkan bendera putih kepada penjajah sebagai tanda dirinya adalah sukarelawan kesehatan. Meri Hoegeng, lanjut Rama, lalu membawa pejuang yang terluka untuk mendapatkan penanganan medis dari seorang dokter yang telah dianggap sebagai ayah angkat oleh Meri Hoegeng.
"Dengan membawa bendera putih yang mereka kibarkan pada pihak penjajah sebagai tanda sukarelawati kesehatan, untuk membawa korban-korban peperangan yang masih hidup untuk diselamatkan dan mendapatkan perawatan seadanya dari ayahanda sambung Eyang Meri atau Eyangti, yang kebetulan seorang dokter kesehatan," kata Rama.
Rama menyebut Kota Pekalongan memiliki arti mendalam bagi keluarganya. Di kota ini pula karakter Jenderal Hoegeng yang juju dan sederhana dibentuk.
"Pendek kata, kota ini mewarnai dan menjadi perjalanan awal, baik untuk Eyangkung dan Eyangti. Dan Pekalongan ini juga membentuk karakter Eyangkung, termasuk yang memantik hati dan pikiran Eyangkung untuk menjadi seorang polisi, abdi negara," pungkas Rama.
Sebelumnya diberitakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meresmikan Monumen Jenderal Hoegeng Iman Santoso di Kota Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng). Acara ini tampak dihadiri juga oleh Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono.
Peresmian Monumen Jenderal Hoegeng berlangsung sore tadi. Terlihat Habib Luthfi, Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi, dan Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Widi Prasetijono.
Hadir pula cucu dari Jenderal Hoegeng, yakni Rama Hoegeng, beserta istri dan ketiga anaknya. Selanjutnya turut hadir di acara ini Pj Gubernur Jateng Nana Sudjana serta Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid. Mereka hadir dan naik ke atas panggung untuk bersama-sama Kapolri dan Panglima TNI menekan tombol panda peresmian.