Ahli hukum tata negara dari Universitas Udayana (Unud) Bali, Dr Jimmy Z Usfunan menilai upaya paksa perpajakan harus diatur oleh UU, bukan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sehingga upaya paksa itu bisa dijadikan objek praperadilan. Hal itu disampaikan saat menjadi ahli judicial review UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Judicial review itu diajukan oleh warga Karo, Sumatera Utara (Sumut) Surianingsih.
"Pasal 2 angka 13 Pasal 43A ayat (4) Undang-Undang HPP cenderung membuka ruang penafsiran yang melebar dalam pendelegasi pengaturan kepada peraturan menteri, sehingga Peraturan Menteri Keuangan membuat kebijakan yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang dan kemudian akhirnya berpotensi merugikan warga negara," kata Jimmy sebagaimana tertuang dalam risalah sidang MK, Jumat (20/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal 43 ayat 1 yang dimaksud berbunyi:
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Sedangkan ayat 4 berbunyi:
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Menurut Jimmy, peraturan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum.
"Berdasarkan prinsip kepastian hukum yang adil, khususnya berkenaan dengan asas treat like cases alike, treat different cases differently, maka seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/2017 digunakan kembali dalam menilai ketentuan Pasal 2 angka 13 Pasal 43A ayat (4) Undang-Undang HPP, sehingga ketentuan a quo harusnya dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal bersifat teknis administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara," beber Jimmy.
Jimmy menyebut berdasarkan Pasal 23A, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 maupun perdekatan teori, maka pungutan pajak dan mekanismenya harus diatur dengan undang-undang, bukan regulasi lainnya.
"Pembatasan hak dan kebebasan setiap orang dilakukan dengan instrumen undang-undang sebagai bentuk persetujuan dari rakyat. Ketiga, kebijakan prosedur hukum yang dari pungutan pajak yang membatasi hak dan kebebasan warga negara juga harus diatur dengan undang-undang," ungkap Jimmy.
Kuasa hukum Surianingsih, Cuaca Teger meminta ketegasan kepada Jimmy soal batasan pengaturan Peraturan Menteri.
"Sebagai sebuah peraturan delegasi dari Pasal 43A ayat (4) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, bagaimana menurut Ahli batasan pengaturan yang dapat diatur dalam peraturan Menteri Keuangan?" tanya Cuaca Teger.
Jimmy menjawab hal itu memang menjadi problematis peraturan.
"Ini sebabnya yang menjadi penting bahwa dalam konteks faktual ini menunjukkan ternyata ketika undang-undang memerintahkan suatu menteri membuat peraturan menteri seolah-olah materi muatannya adalah materi muatan yang mirip atau derajatnya setidaknya satu tingkat dengan dari undang-undang seperti peraturan pemerintah. Padahal dalam konteks ini ketika undang-undang mendelegasikan kepada peraturan menteri, maka kemudian ini terbatas pada kewenangan dari menteri itu sendiri yang adalah pembantu presiden, maka menjadi penting ketika ini adalah teknis administratif," jawab Jimmy.
Sementara itu, ahli lainnya, Mudzakir tegas menyatakan di dalam mengatur tata cara pengaturan tentang bukti permulaan itu adalah adalah maksudnya hanya ditujukan tata cara pemeriksaan.
"Kalau sudah di dalamnya mengatur norma penggunaan kewenangan sejauh itu menurut Ahli adalah tafsir yang harus dipahami mestinya tata cara itu adalah SOP, penggunaan wewenang. Tapi ini tata cara malah justru mengatur norma. Sejauh mengatur norma, menurut Ahli itu adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan khususnya adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni terkait dengan kepastian hukum yang adil," kata Mudzakir.
Sebagaimana diketahui, Surianingsih meminta:
1. Menyatakan frasa 'pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan' Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'pemeriksaan bukti permulaan yang merupakan bagian penyidikan'
2. Menyatakan frasa 'Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan' dalam Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara'
"Bahwa dalam pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan upaya paksa. Akan tetapi, terhadap upaya paksa tersebut tidak terdapat perlindungan hukum bagi," kata Cuaca Teger.
(asp/rdp)