Membawa kendaraan harus dalam kondisi prima agar siap dalam segala hal. Tapi bagaimana kalau lalai sehingga menabrak orang?
Berikut pertanyaan pembaca:
Saya, CE (inisial) gender perempuan dan tinggal di Tangerang Selatan hendak bertanya mengenai hukum tentang mengemudi kendaraan bermotor. Saya mengemudi mobil di dalam komplek perumahan dengan surat izin mengemudi dan batas kecepatan tertentu namun terjadi kecelakaan lalu lintas (laka lantas) secara lalai mengakibatkan tetangga saya luka berat, bagaimana hukum dan penyelesaiannya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CE
Pembaca detikcom juga bisa mengajukan pertanyaan terkait permasalahan hukum dan dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc ke andi.saputra@detik.com. Untuk menjawab pertanyaan pembaca di atas, berikiut penjelasan advokat Chessa Ario Jani Purnomo:
Pertama saya turut prihatin atas permasalahan hukum yang menimpa Ibu CE beserta akibatnya dan kedua saya hendak menjawab pertanyaan Ibu CE mengenai hukumnya dan tata cara penyelesaiannya sebagai berikut.
Pertama, berlaku dan mengikat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Nomor 22 Tahun 2009). Adapun, sesuai ketentuan Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 berbunyi:
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
Kedua, apabila diuraikan ketentuan Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 meliputi unsur-unsur tindak pidana dan makna berikut ini:
1. Setiap orang;
2. yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas;
3. dengan korban luka berat.
Mengenai unsur "setiap orang" dalam ketentuan pidana Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 di atas bahwa memiliki makna orang pribadi (natural person) sebagai subjek hukum, bukan korporasi. Dengan demikian, makna orang pribadi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 23 UU Nomor 22 Tahun 2009 adalah pengemudi kendaraan bermotor yang pada pokoknya telah memiliki izin surat mengemudi sebagai sasaran norma (normaadressaat) UU Nomor 22 Tahun 2009 itu.
Selanjutnya, unsur inti (bestandel delicten) dalam ketentuan pidana Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 berupa "yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas" memiliki arti pengemudi kendaraan bermotor teledor atau tidak hati-hati mengakibatkan kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Frasa "kelalaiannya" dalam ilmu hukum pidana berarti bentuk kesalahan pelaku. Ia dianggap mengetahui (knowing) atau menghendaki (willing) perbuatan dan akibat tertentu sehingga seharusnya yang bersangkutan dapat memilih perbuatan yang lain.
Kemudian, unsur "dengan korban luka berat" tersurat secara tegas bahwa korban merupakan akibat dari perbuatan pelaku yang lalai mengemudi kendaraan bermotor. Indikator luka berat sebagaimana penjelasan ketentuan Pasal 229 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 terdapat 8 (delapan) jenis antara lain luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari.
Jika perbuatan pelaku tergambar atau cocok dengan seluruh unsur-unsur sebagaimana ketentuan Pasal 310 ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 di atas maka yang bersangkutan diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) di mana pembuktiannya dilakukan oleh penuntut umum secara material dan jika terbukti divonis oleh hakim pidana di pengadilan.
Penyelesaian non-penal di level penyidikan dapat dilakukan sepanjang adanya perdamaian antara pelaku dan korban dan huruf b perkap a quo yaitu adanya pemulihan kepada korban dari pelaku. Chessa Ario Jani Purnomo, Dosen Unpam |
Akan tetapi, penyelesaian non-penal di level penyidikan dapat dilakukan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 10 huruf b Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Nomor 8 Tahun 2021) yang pada pokoknya menyatakan tindak pidana dengan kelalalaian di bidang lalu lintas sebagaimana ketentuan Pasal 5 Perkap Nomor 8 Tahun 2021 yaitu pelaku bukan orang yang pernah dihukum pidana berdasarkan putusan pengadilan dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a yakni adanya perdamaian antara pelaku dan korban dan huruf b perkap a quo yaitu adanya pemulihan kepada korban dari pelaku.
Demikian jawaban dari saya dan semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Salam,
Chessa Ario Jani Purnomo
Advokat dan dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Tentang detik's Advocate
detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.
Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.
![]() |
Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.
Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: redaksi@detik.com dan di-cc ke-email: andi.saputra@detik.com
Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.
Simak juga 'Janji atau Kesepakatan Politik di Mata Hukum':