Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa terkait kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. Emirsyah Satar menuding jaksa mencari 'kambing hitam'.
Hal itu disampaikan Emirsyah Satar melalui kuasa hukumnya, Monang Sagala, di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (9/10/2023) kemarin. Eksepsi Emirsyah Satar diberi judul 'Mencari Kambing Hitam'.
Monang menuding jaksa sengaja mengkambinghitamkan kliennya. Dia menyebut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dakwaan dibuat menjadi menyesatkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa berdasarkan terjemahan resmi KUHP, pendapat para ahli di negeri Belanda dan ahli di Indonesia termasuk Prof Juajir Sumardi, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, kata 'perbuatan' dalam Pasal 76 KUHP yang mengatur tentang nebis in idem harus diartikan sebagai perbuatan material bukan perbuatan pidana, sehingga perubahan atau penambahan pasal yang dilanggar tidak serta merta menjadi perkara baru, harus diteliti perbuatan materialnya," ungkap Monang.
Monang mengatakan rangkaian perbuatan yang tertuang dalam dakwaan kasus ini sama persis dengan rangkaian perbuatan pada kasus pertama, yang di mana kliennya sudah dihukum. Dia menyebut hal tersebut tidak diperbolehkan.
"Misalnya tentang perbuatan terdakwa membocorkan fleet plan sebagaimana pernah dijelaskan oleh Jaksa Agung. Uraian perbuatan tentang fleet plan tersebut sudah pernah diuraikan dalam dakwaan perkara terdakwa yang pertama," katanya.
"Kemudian peristiwa yang didakwakan saat ini juga sama persis dengan peristiwa yang didakwakan pada saat terdakwa menjalani persidangan yang pertama, yaitu peristiwa pengadaan Pesawat Bombardier CJ-1000 dan ATR 72-600 di PT Garuda Indonesia. Peristiwa tersebut sudah pernah diperiksa pada dalam persidangan tahun 2020-2021," sambungnya.
Monang menyebut kliennya sudah pernah dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar SGD 2,1 juta, karena dinyatakan terbukti merugikan negara Pasal 18 UU Tipikor di kasus yang sama. Kata Monang, pasal yang sama juga diterapkan dalam kasus ini.
"Dalam perkara saat ini dakwaan JPU mendakwa ulang terdakwa dengan Pasal 18 UU Tipikor. Artinya bukan cuma perbuatan dan peristiwanya yang sama, tapi penerapan pasalnya juga diulang lagi," sebut Monang.
Monang mengatakan kliennya juga sudah dinyatakan melanggar Pasal 65 ayat (1) tentang perbarengan (concursus realis) di kasus sebelumnya. Artinya, kata Monang, secara hukum seharusnya seluruh hukuman terhadap kliennya dalam kasus pengadaan Pesawat Bombardier dan ATR 72-600 sudah terserap (absoprsi), sehingga tidak boleh dihukum lagi.
"Bahwa dakwaan saat ini bertumpu pada hasil audit BPKP tahun 2022. Hasil Audit tersebut menghitung kerugian negara dengan cara mengurangi pendapatan bersih dengan biaya. Hasil audit BPKP tersebut mengesampingkan fakta bahwa BUMN memiliki fungsi sosial bukan mencari keuntungan semata," ujarnya.
Monang memohon majelis hakim untuk menerima seluruh eksepsi yang diajukan Emirsyah Satar. Dia memohon hakim membatalkan dakwaan jaksa dan memulihkan nama baik kliennya.
Diketahui, Emirsyah Satar sebelumnya sudah divonis bersalah terkait kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia, Boeing, Bombardier CJ-1000 dan ATR 72-600.
Dalam perkara itu, Emirsyah dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Mei 2020 lalu.
Kini, Emirsyah Satar juga tengah diadili di Pengadilan Tipikor dalam kasus yang sama yakni terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. Jaksa menyebut total kerugian negara melalui PT Garuda Indonesia akibat perbuatan Emirsyah sebesar 609 juta dolar Amerika.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri Terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain yakni Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC), yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD 609.814.504," kata jaksa saat membacakan dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (18/9).
Total kerugian negara senilai 609 juta dolar jika dirupiahkan senilai Rp 9,37 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Jaksa menyebut Emirsyah Satar tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo. Padahal rencana pengadaan itu merupakan rahasia perusahaan.
"Terdakwa Emirsyah Satar secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT GA yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier," ujar jaksa.
Lihat juga Video 'Tekan Cost! Erick Thohir Bakal 'Kawinkan' Garuda, Citilink dan Pelita Air':