Warga dan sejumlah LSM meminta hakim konstitusi menolak gugatan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Gugatan ini diajukan oleh perusahaan bijih nikel, PT GKP.
"Kami memohon Mahkamah Konstitusi mengedepankan perlindungan lingkungan hidup. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar kuasa warga, Judianto Simanjuntak, dalam sidang yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (5/10/2023).
Gugatan dilayangkan GKP karena niat menambang mineral di Sulawesi terhalang oleh Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 23 ayat (2) berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
a. Konservasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Penelitian dan pengembangan.
d. Budi daya laut.
e. Pariwisata.
f. Usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari.
g. Pertanian organik.
h. Peternakan dan/atau.
i. Pertahanan dan keamanan negara.
dan Pasal 35 huruf k berbunyi bahwa:
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
"Pasal a quo, tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dan 28 I ayat 2 UUD 1945. Pasal a quo selasar dengan konsep konstitusi hijau dan negara kepulauan," ucap Judianto Simanjuntak.
Warga dan LSM tidak bisa membayangkan bila pasal yang digugat GKP itu dikabulkan sehingga aktivitas pertambangan bisa dilakukan di kawasan pesisir dan wilayah pulau kecil. Berdasarkan data yang dimiliki sejumlah lembaga swadaya masyarakat, aktivitas tambang di wilayah itu membuat kualitas lingkungan menurun, abrasi, dan konflik di masyarakat.
"Pengelolaan sumber daya alam bukanlah semata-mata soal materiil yang diperebutkan, tapi secara simbolis sebagai budaya, cara hidup petani dan nelayan, identitas, etnis yang berpengaruh," ungkap Judianto.
Dalam sidang itu, hakim MK Enny Nurbaningsih meminta pemohon melengkapi data penambangan di Wawonii, Konawe Kepulauan. Enny meminta jawaban tertulis.
"Tolong dijelaskan, bagaimana kemudian izin itu yang diberikan secara serampangan?" pinta Enny.
Untuk diketahui, warga juga sebelumnya juga menggugat Peraturan Daerah (Perda) Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan. Isinya menetapkan alokasi ruang kegiatan pertambangan di daerah kawasan pesisir di Pulau Wawonii. Padahal Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana termuat dalam Pasal 23 ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya.
Warga tidak terima dan mengajukan judicial review ke MA dan dikabulkan. Majelis judicial review yang diketuai Irfan Fachruddin dengan anggota Yosran dan Is Sudaryo membatalkan Perda 2/2021 itu.
Simak juga 'Jokowi soal Cuan dari Hilirisasi Nikel: Dari Rp 32 T Jadi 510 T!':
(asp/dnu)