Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan konsep kepemimpinan digital di pemerintahan sangat penting. Tujuannya, untuk meningkatkan pelayanan publik, transparansi, dan efisiensi operasional pemerintahan.
Menurutnya, para pemimpin pemerintahan harus merumuskan strategi digital secara komprehensif yang di dalamnya terdapat tujuan, prioritas, dan inisiatif untuk memanfaatkan teknologi informasi, sehingga, dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Strategi ini harus selaras dengan misi dan visi pemerintah yang lebih luas.
Menurut Bamsoet, penggunaan teknologi informasi juga akan memudahkan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data untuk membuat keputusan yang tepat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Analisis data dapat membantu mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan, melacak kinerja, dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih efektif. Apalagi makin kedepan teknologi algoritma semakin canggih untuk merekam berbagai peristiwa melalui berbagai platform media sosial," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (3/10/2023).
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pembicara Seminar Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI bertajuk 'Peta Jalan Kepemimpinan Digital dalam Mewujudkan Visi Konsolidasi Demokrasi', di Jakarta, Selasa (3/10/23).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, Indonesia tidak boleh tertinggal, seperti beberapa negara yang telah memulai membangun kota metaverse sebagai sarana pelayanan publik. Contoh dari kota-kota tersebut termasuk Seoul Korea Selatan, Dubai, Singapura, dan Santa Monica, California, Amerika Serikat.
Bamsoet menjelaskan kepemimpinan digital telah terbukti mempermudah peningkatan public services melalui saluran-saluran modern. Hal ini mencakup pembuatan situs web dan aplikasi seluler yang mudah digunakan, memungkinkan permintaan dan transaksi layanan online, serta menawarkan opsi layanan mandiri digital bagi masyarakat.
Tapi di sisi lain, ada tuntutan akan transparansi dan keterbukaan data. Digital leadership pun dinilai pasti akan berhadapan dengan digital society yang biasanya beberapa langkah lebih maju. Ada juga tuntutan akan transparansi terhadap data dan informasi pemerintahan.
"Untuk memenuhi tuntutan itu, telah banyak pemimpin pemerintahan modern yang dapat membuat portal data terbuka, mempublikasikan data pengeluaran pemerintah, dan memberikan akses kepada masyarakat terhadap catatan publik," kata Bamsoet.
Selain itu, Bamsoet juga memaparkan, seharusnya juga Indonesia sudah mulai berani menerapkan Pemilu Digital yang lebih efisien, murah, mudah dan cepat. Ada tiga jenis e-voting, antara laib optical scanning, direct recording dan internet voting.
"Optical scanning atau optical scan voting menggunakan balot kertas yang diberikan tanda oleh pemilihnya. Kertas tersebut kemudian masuk ke mesin scan untuk dihitung secara digital. Sistem ini mirip seperti cara memilih konvensional yang diterapkan di Indonesia. Bedanya, penghitungan suara dilakukan dengan mesin sehingga hasil suara lebih cepat keluar. Lalu direct recording dan internet voting sudah tidak lagi menggunakan kertas suara. Semua proses pemilihan dilakukan secara digital, mulai dari perekaman suara, penyimpanan, dan penghitungan," jelas Bamsoet.
Menurut Bamsoet, beberapa negara telah mengadopsi e-voting, seperti Kanada sejak tahun 1990-an, serta Estonia, Belanda, Jerman, dan Filipina. Namun, Belanda dan Jerman mengalami kegagalan dalam sistem ini dan tidak melanjutkannya karena rawan terhadap potensi peretasan. Sebagai contoh sukses, Filipina terus menggunakan Automated Election System (AES) dan telah menarik perhatian dunia.
Ia menjelaskan, portal digital juga sering digunakan sebagai platform untuk berinteraksi dengan masyarakat, mengumpulkan masukan mereka, dan melibatkan mereka dalam proses pembuatan kebijakan.
Media sosial, forum online, dan inovasi seperti 'balai kota virtual' telah kerap digunakan sebagai alat yang efektif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan modern.
"Ini semua harus terus ditingkatkan, khususnya untuk memastikan bahwa layanan digital dapat diakses oleh semua warga negara. Termasuk penyandang disabilitas dan masyarakat pinggiran. Hal ini memerlukan penguatan infrastruktur layanan digital dengan mempertimbangkan aksesibilitas dan penyediaan program literasi digital," urai Bamsoet.
Ia juga menambahkan, patut disyukuri menurut hasil survei Kementerian KOMINFO dan Katadata Insight Center, status literasi digital Indonesia pada periode tahun 2020 hingga 2022 terus mengalami peningkatan. Berturut-turut dari 3,46 poin, naik menjadi 3,49 poin, dan kembali naik menjadi 3,54 poin.
Di sisi lain, INDEF menilai saat ini tingkat literasi Indonesia masih berada pada kisaran 62 persen. Paling rendah jika dibandingkan negara-negara lain di ASEAN yang rata-rata sudah mencapai 70 persen.
"Menyikapi kondisi ini, pemerintah tidak perlu ragu untuk berinvestasi dalam peningkatan kapasitas aparatur negara, guna memastikan mereka memiliki keterampilan digital yang diperlukan untuk bekerja secara efektif di era modern. Pada saat yang sama, perlu juga diperhatikan keamanan siber dan privasi data untuk melindungi informasi sensitif pemerintah dan data warga negara. Kepemimpinan digital harus dibarengi dengan pengembangan kebijakan keamanan siber yang kuat, audit keamanan secara berkala dan penguatan kapasitas aparatur negara tentang praktik terbaik keamanan siber," pungkas Bamsoet.
Sebagai informasi, hadir dalam acara tersebut antara lain Gubernur LEMHANNAS Andi Widjajanto, Ketua Senat Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI Brigjen Pol Chaidir, serta para peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) ke-24 Lemhannas RI.
(anl/ega)