Hakim sampai menggebrak meja usai mendengar keterangan dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama, yang mengaku mengalirkan uang proyek penyediaan BTS 4G Kominfo ke seseorang bernama Sadikin selaku perwakilan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Perwakilan BPK menerima uang senilai Rp 40 miliar.
Hal itu diungkap Windi saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (26/9/2023). Windi dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi mahkota, yaitu seorang terdakwa yang bersaksi untuk terdakwa lainnya.
Duduk sebagai terdakwa eks Menkominfo Johnny G Plate, Eks Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif dan mantan Tenaga Ahli Human Development Universitas Indonesia (Hudev UI) Yohan Suryanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diperintah Anang
Mulanya, dia mengaku diminta Anang menyerahkan uang kepada perwakilan BPK bernama Sadikin. Perintah Anang itu melalui grup aplikasi perpesanan dengan nama 'signal'.
"Nomor dari Pak Anang seseorang atas nama Sadikin. Nomor teleponnya diberikan oleh Pak Anang lewat signal," kata Windi.
"Sodikin apa Sadikin?" tanya hakim Fahzal Hendri.
"Sadikin," kata Windi.
"Berapa?" tanya hakim.
"Itu saya tanya untuk siapa, untuk BPK, Yang Mulia," kata Windi.
"BPK atau PPK? Kalau PPK pejabat pembuat komitmen. Kalau BPK Badan Pemeriksa Keuangan. Yang mana?" tanya hakim lagi.
"Badan Pemeriksa Keuangan, Yang Mulia," kata Windi.
Uang Diserahkan di Parkiran Hotel
Uang itu dikirim atas perintah Anang. Windi menyerahkan uang itu dengan mengantarnya secara langsung.
"Dikirimlah ke orang yang bernama Sadikin itu?" tanya hakim.
"Dikirim, Yang Mulia," jawab Windi.
"Bagaimana cara kirimnya?" tanya hakim lagi.
"Saya serahkan, antar langsung," jawab Windi.
Windi mengatakan menyerahkan uang itu di salah satu parkiran hotel mewah di Jakarta senilai Rp 40 miliar. Sontak, hal itu membuat hakim kaget hingga menggebrak meja.
"Di mana ketemunya sama Sadikin itu?" tanya hakim.
"Ketemunya di Hotel Grand Hyatt," jawab Windi.
"Hotel mewah itu, Pak?" tanya hakim.
"Di parkirannya, Pak," jawab Windi.
Gebrak Meja
Hakim lalu menanyakan siapa penerima uang tersebut.
"Oh, parkirannya. Tidak sampai masuk ke hotel. Siapa yang menerima?" tanya hakim.
"Seseorang yang bernama Sadikin," jawab Windi.
"Berapa, Pak?" tanya hakim.
"Rp 40 miliar," ungkapnya.
"Ya Allah," respons hakim sampai menggebrak meja.
Simak Video 'BPK Disebut Terima Rp 40 M dari Proyek BTS Kominfo':
Saksikan Live DetikPagi:
Simak selengkapnya di halaman berikutnya
Mata Uang Asing
Windi mengatakan uang itu diserahkan dalam bentuk pecahan mata uang asing. Uang itu dibawa menggunakan koper.
"Rp 40 miliar diserahkan di parkiran? Uang apa itu? Uang rupiah atau dolar AS, dolar Singapura, atau euro?" tanya hakim.
"Uang asing, Pak. Saya lupa detailnya mungkin gabungan dolar AS dan dolar Singapura," jawab Windi.
"Pakai apa bawanya, Pak?" tanya hakim.
"Pakai koper," jawab Windi.
Windi mengaku ditemani sopirnya saat menyerahkan uang tersebut. Lalu uang itu, kata Windi, diserahkan kepada seseorang bernama Sadikin.
Proyek BTS Bermasalah
Mulanya, jaksa penuntut umum (JPU) bertanya kepada Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera, Windi Purnama, yang juga menjadi saksi mahkota. Jaksa bertanya apa tujuan Anang memerintahkannya untuk memberikan uang Rp 40 miliar ke perwakilan BPK.
Windi mengaku tidak tahu alasannya. Tak puas atas jawaban itu, jaksa kembali mencecar Windi soal apakah perintah itu agar BPK mengeluarkan wajar tanpa pengecualian (WTP/unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (WDP/qualified opinion), atau tidak memberikan pendapat (TMT/disclaimer opinion). Windi masih dengan jawaban yang sama yakni tidak tahu.
"Ini bisa dijawab oleh saksi Windi. Untuk penyerahan uang ke BPK RI dalam hal ini apakah Pak Anang Latif itu menyampaikan apa tujuan atau kepentingan uang Rp 40 miliar untuk diserahkan ke BPK?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu, Pak," jawab Windi.
"Pak Windi, pada saat mendapat perintah dari Anang, tahu tidak apakah ini untuk mengamankan WDP, WTP, atau disclaimer?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Windi.
Masih tak puas, jaksa pun beralih bertanya kepada Irwan Hermawan. Irwan rupanya memiliki jawaban yang berbeda.
Irwan mengungkap ada sesuatu yang disampaikan Anang sebelum memerintahkan uang Rp 40 miliar diberikan ke perwakilan BPK. Irwan menyebutkan Anang sudah merasa proyek BTS yang bermasalah ini akan berujung pada audit BPK.
"Tidak terlalu detail saya tahu. Yang jelas, Pak Anang sedikit ada penyampaian bahwa ini berat dan sebagainya karena masalah BTS ini," kata Irwan.
"Ini berat karena ada masalah di BTS?" tanya jaksa.
"Iya," jawab Irwan.
Irwan tidak menjelaskan gamblang apakah saat itu BPK sudah mengungkap temuan terkait kasus BTS Kominfo. Anang, menurut Irwan, hanya mengatakan audit BPK akan sangat berat, belum lagi ditambah adanya tekanan-tekanan yang datang silih berganti.
"Apakah Pak Anang menyampaikan bahwa ada temuan dari BPK mengenai audit terhadap proyek BTS?" tanya jaksa.
"Tidak terlalu detail apakah temuan atau tidak, namun...," kata Irwan.
"Coba Saudara ingat, saya bantu Saudara ingat, coba ingat yang disampaikan Pak Anang?" timpal jaksa.
"Pada saat karena BTS ini telat, jadi mungkin audit BPK itu dirasa berat dan juga terkait tadi ada tekanan dari Edward Hutahean yang juga mengatasnamakan BPK begitu," kata Irwan.
"Ada audit itu terasa berat memang waktu itu temuannya sudah didapatkan oleh BPK RI?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu," jawab Irwan.
Saksikan Live DetikPagi:
Simak selengkapnya di halaman berikut
Johnny Plate dkk Didakwa Rugikan Rp 8 T
Johnny G Plate didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ini hingga menyebabkan kerugian negara Rp 8 triliun. Plate diadili bersama Anang Achmad Latif dan Yohan Suryanto.
Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa dalam sidang perdana Plate di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (27/6), kasus ini disebut berawal pada 2020. Saat itu, Plate bertemu dengan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo Anang Achmad Latif dan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak di salah satu hotel dan lapangan golf untuk membahas proyek BTS 4G.
"Terdakwa Johnny Gerard Plate dalam menyetujui perubahan dari 5.052 site desa untuk program BTS 4G Tahun 2020-2024 menjadi 7.904 site desa untuk Tahun 2021-2022 tanpa melalui studi kelayakan kebutuhan penyediaan infrastruktur BTS 4G dan tanpa ada kajiannya pada dokumen Rencana Bisnis Strategis (RBS) Kemkominfo maupun Bakti serta Rencana Bisnis Anggaran (RBA) yang merupakan bagian dari Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) Kemkominfo," ujar jaksa.
Jaksa mengatakan Plate juga menyetujui penggunaan kontrak payung pada proyek BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 dengan tujuan menggabungkan pekerjaan pembangunan dan pekerjaan operasional. Jaksa juga menyebut Plate memerintahkan Anang agar memberikan proyek power system meliputi battery dan solar panel dalam penyediaan Infrastruktur BTS 4G dan Infrastruktur Pendukung Paket 1, 2, 3, 4, dan 5 kepada Direktur PT Basis Utama Prima Muhammad Yusrizki Muliawan.
Jaksa mengatakan Plate sebenarnya telah menerima laporan bahwa proyek BTS itu mengalami keterlambatan hingga minus 40 persen dalam sejumlah rapat pada 2021. Proyek itu juga dikategorikan sebagai kontrak kritis.
Namun, menurut jaksa, Plate tetap menyetujui usulan Anang untuk membayarkan pekerjaan 100 persen dengan jaminan bank garansi dan memberikan perpanjangan pekerjaan sampai 31 Maret 2022 tanpa memperhitungkan kemampuan penyelesaian proyek oleh perusahaan.
Pada 18 Maret 2022, Plate kembali mendapat laporan bahwa proyek belum juga selesai. Jaksa mengatakan Plate saat itu meminta Anang selaku kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen untuk tidak memutuskan kontrak.
"Tetapi justru meminta perusahaan konsorsium untuk melanjutkan pekerjaan, padahal waktu pemberian kesempatan berakhir tanggal 31 Maret 2022," ucap jaksa.
"Bahwa perbuatan Terdakwa Johnny Gerard Plate, bersama dengan Anang Achmad Latif, Yohan Suryanto, Irwan Hermawan, Galumbang Menak Simanjuntak, Mukti Ali, Windi Purnama dan Muhammad Yusrizki Muliawan telah mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, sebesar Rp 8.032.084.133.795,51 (Rp 8 triliun)," ujar jaksa.
Saksikan Live DetikPagi: