Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Ascobat Gani menekankan perlunya memperkuat sinergi BPJS Kesehatan dengan pemerintah pusat hingga daerah. Hal ini dalam rangka meningkatkan mutu layanan hingga kinerja kepesertaan.
Apalagi dengan semakin bertambahnya jumlah peserta program JKN yang saat ini mencapai lebih dari 260 juta jiwa.
"Sekarang sudah lebih dari 93% penduduk Indonesia terlindungi JKN, itu bagus sekali. Tapi jangan lupa, ada bagian yang disebut hard rock, ini kelompok yang sulit didaftarkan menjadi peserta JKN dengan berbagai alasan dan menjadi tantangan BPJS Kesehatan," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (19/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian, ada peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tugas kita ke depan adalah soal kriteria siapa saja yang layak jadi peserta PBI, sebab saat ini banyak sumbernya. Badan Pusat Statistik (BPS) punya kriteria, Kementerian Sosial ada kriteria sendiri, pemerintah daerah pun demikian. Artinya, instrumen ini harus kita pertajam," imbuhnya.
Prof. Ascobat juga menyoroti pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) yang diprediksi mencapai 42 juta jiwa pada tahun 2029 mendatang dan memiliki kecenderungan menderita penyakit katastropik. Menurutnya jika tidak dikelola sejak dini dengan langkah yang tepat, kondisi tersebut bisa berimbas pada membengkaknya dana jaminan kesehatan yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan penyakit katastropik.
"Harus ada langkah-langkah efisiensi, upayanya dengan mencegah penyakit dengan langkah promotif preventif. Perkuat skrining kesehatan untuk menekan risiko pembiayaan penyakit kronis. Tapi harus dipahami, BPJS Kesehatan lingkupnya menjalankan upaya promotif preventif bagi individu, bukan untuk massal. Kalau Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) itu tanggung jawab pemerintah, sasarannya massal dan melibatkan birokrasi seperti camat, tokoh adat, dan sebagainya," jelasnya.
Di sisi lain, Prof. Ascobat menilai tepat adanya kebijakan credentialing dan akreditasi bagi fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun sayangnya, di luar daerah padat penduduk, masih banyak fasilitas kesehatan yang sebetulnya tidak dapat terakreditasi karena tidak memenuhi syarat. Namun karena di daerah tersebut tidak ada fasilitas kesehatan lain, maka terpaksa diterima menjadi mitra BPJS Kesehatan.
"BPJS Kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Sekarang sudah ada UU Kesehatan. Harapannya bisa menyelesaikan masalah soal supply side. Supply-nya bukan dari BPJS Kesehatan, tapi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam UU Kesehatan, itu sudah jelas disebutkan. Dengan naiknya jumlah peserta BPJS Kesehatan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus beriringan meningkatkan supply side namun juga harus memastikan mutu layanannya bagus. Jangan sampai tinggi disparitas pelayanan antar daerah di Indonesia," ujarnya.
Dibandingkan negara lain yang menerapkan jaminan kesehatan, kata dia, RI termasuk beruntung karena memiliki penduduk dengan jumlah besar. Pasalnya, Indonesia mengkonsolidasikan ratusan kumpulan risiko (risk pools) ke dalam satu risk pool. Prinsip gotong royong dalam Program JKN memungkinkan adanya subsidi silang dari yang sehat ke yang sakit.
"Uang yang dikumpulkan BPJS Kesehatan itu milik peserta, itu disebut dana amanat. Bukan milik negara, bukan milik BPJS Kesehatan, karena bukan tax based. Dana ini digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Surplus bisa, tapi tidak bisa ambil keuntungan, karena uang itu manfaatnya harus kembali lagi pada peserta. Mengelola JKN itu seperti berlayar sambil membangun perahu. Kalau robek layarnya, jangan berkelahi atau putar balik ke dermaga. Tapi kita betulkan bersama-sama," tutup Prof. Ascobat.
(ega/ega)