Bamsoet Beri Kuliah Umum soal Politik, Hukum, dan Kekuasaan

Bamsoet Beri Kuliah Umum soal Politik, Hukum, dan Kekuasaan

Hana Nushratu Uzma - detikNews
Sabtu, 09 Sep 2023 21:45 WIB
Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet)
Foto: Dok. MPR RI
Jakarta -

Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan bahwa ilmu hukum dan ilmu politik masih sangat diperlukan sebagai salah satu program studi, fakultas maupun mata ajar dalam perkuliahan. Dalam praktiknya, ilmu hukum juga turut berkaitan dengan ilmu politik, ilmu ekonomi, dan juga praktik kekuasaan.

Menurut Bamsoet, politik tanpa hukum bisa menimbulkan anarki, hukum tanpa politik hanya menjadi rangkaian kata-kata, serta politik dan hukum tanpa kekuasaan hanya berupa angan-angan. Jika dijalankan dengan baik sesuai ketentuan, politik, hukum, dan kekuasaan, bisa berujung pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bukan ekonomi perorangan ataupun golongan.

Namun ironisnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menguasai sumber daya ekonomi, banyak yang terlebih dahulu menguasai kekuasaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mendapatkan kekuasaan, selain melalui jalan politik juga seringkali dilakukan dengan mempolitisasi hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karenanya, jika ingin menjadi negara maju yang modern, Indonesia harus memiliki tokoh politik, tokoh hukum, tokoh ekonomi, dan tokoh kekuasaan yang bisa menjaga masing-masing pilar tersebut sesuai tugas dan fungsinya. Saat ini Kita butuh tokoh yang mampu mencegah terjerumusnya negara dalam praktik demokrasi NPWP (Nomor Piro Wani Piro) yang ujung-ujungnya melahirkan oligarki atau kekuasaan yang terpusat pada satu kelompok pemilik modal, yang diakui atau tidak telah masuk ke dalam relung-relung demokrasi kita yang semakin mahal," ungkap Bamsoet, dalam keterangannya, Sabtu (9/9/2023).

"Dalam hal ini, perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam melahirkan peserta didik yang tidak hanya pintar secara akademis, melainkan juga memiliki karakter kebangsaan yang berhati Indonesia dan berjiwa Pancasila," sambungnya saat dalam Kuliah Umum Politik, Hukum, Ekonomi, dan Kekuasaan, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (9/9).

ADVERTISEMENT

Bamsoet juga mengajak berbagai perguruan tinggi melalui lembaga kajian dan penelitian yang dimilikinya untuk mengkaji sistem politik dan pemilihan langsung yang dilakukan dari mulai tingkat pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, legislatif, hingga presiden. Dalam konteks keindonesiaan, praktik kehidupan demokrasi dijiwai sila keempat Pancasila yang mengamanatkan penegakan kedaulatan rakyat, serta melembagakannya dalam mekanisme permusyawaratan/perwakilan.

Mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam lembaga perwakilan, idealnya dapat dimanifestasikan melalui beberapa jalur representasi. Antara lain representasi politik yang sudah terwadahi dalam DPR RI, representasi kedaerahan yang sudah terwadahi dalam DPD RI, serta representasi golongan/kelompok fungsional yang bisa terwadahi dalam Utusan Golongan.

"Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR terdiri terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Pasca amandemen, sesuai ketentuan pasal 2 Ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum," jelas Bamsoet.

"Perubahan tersebut berdampak pada hilangnya unsur Utusan Golongan. Akibatnya, tidak heran jika kini banyak yang menilai bahwa gambaran ideal mengenai demokrasi partisipatoris yang melingkupi semua kelompok kepentingan belum sepenuhnya terpenuhi," imbuhnya.

Bamsoet menjelaskan sejak Indonesia merdeka tahun 1945, pembangunan hukum terus dilakukan. Antara lain dengan mengganti produk hukum yang berasal dari zaman sebelum Indonesia merdeka, melakukan pembaharuan hukum nasional, hingga membentuk hukum baru. Hal ini yang disebut sebagai politik hukum nasional.

"Dasar hukum pembangunan yang digunakan pada Orde Lama yaitu Rencana Pembangunan Semesta Berencana. Pada Orde Baru dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)," beber Bamsoet.

Dituturkan Bamsoet, dalam dua era kekuasaan tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan berada pada presiden. Pada era reformasi, kekuasaan pembentukan Undang-Undang beralih ke DPR.

"Kita juga tidak lagi memiliki GBHN, yang mengakibatkan tidak adanya keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah, serta kesinambungan antara pemerintahan yang satu dengan penggantinya," jelas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, pihaknya saat ini sedang mempersiapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0.

Pentingnya menghadirkan PPHN berangkat dari sebuah kebutuhan terhadap hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang bisa menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam Konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.

"Selain memastikan program pembangunan tidak mangkrak, keberadaan PPHN juga akan menjawab megatrend dunia. Seperti, kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi global, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia," pungkasnya.

(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads