Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana menilai pesan yang dibawa DPR RI pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di Jakarta memiliki urgensi yang cukup tinggi. Sebagai mitra pemerintah, Hikmahanto menjelaskan parlemen memiliki peranan dalam pembentukan kebijakan untuk rakyat sehingga sinergitas kedua lembaga tersebut sangat penting.
"Kerja sama parlemen dengan pemerintah sangat urgen karena sinergitas Parlemen dan Pemerintah sangat penting saat pemerintah mengambil kebijakan," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulis, Jumat (8/9/2023).
Hikmahanto mengungkapkan saat pembukaan KTT ke-43 ASEAN, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan pentingnya sinergi antara parlemen dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi situasi dan tantangan global. Menurutnya, pesan yang disampaikan Puan perlu mendapat perhatian mengingat parlemen merupakan perwakilan rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah tidak bisa mengabaikan parlemen karena parlemen sebagai representasi rakyat perlu dilibatkan," ucapnya.
Dalam perhelatan KTT ke-43 ASEAN, lanjut Hikmahanto, Puan juga menyebut sinergi antara pemerintah dan parlemen merupakan kunci dalam menjawab tantangan global. Ia juga mengingatkan pentingnya kolaborasi antara lembaga eksekutif dan legislatif untuk menghadapi dinamika yang dihadapi kawasan seperti perubahan iklim, ketidakstabilan ekonomi, dan masalah keamanan.
Hikmahanto mengungkapkan momen KTT ke-43 ASEAN dinilai Puan sebagai peluang emas dalam mengukuhkan kembali komitmen negara-negara Asia Tenggara terhadap nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan perdamaian di kawasan.
"Tentunya komitmen yang diingatkan Ketua DPR penting karena tantangan global yang dihadapi akan sedikit banyak memberi dampak pada rakyat negara anggota ASEAN," papar Hikmahanto.
Lebih lanjut, Hikmahanto mengungkapkan kerja sama parlemen dan pemerintah tidak hanya sebatas di tingkat nasional. Melihat dari pengalaman penanganan pandemi COVID-19 yang melanda dunia, termasuk Asia Tenggara, sinergi baik antara parlemen dan pemerintah memungkinkan negara-negara di ASEAN merumuskan respons yang lebih kuat dan efektif.
Rektor Universitas Jenderal A. Yani ini menambahkan, sebagai wakil rakyat, parlemen berperan penting dalam merumuskan kebijakan dan legislasi yang mempengaruhi hubungan luar negeri dan diplomasi suatu negara.
"Sehingga peran parlemen juga termasuk mengevaluasi kebijakan luar negeri dan memastikan bahwa kepentingan nasional dan nilai-nilai kawasan bisa tetap sama-sama dijaga," ungkapnya.
Di samping itu, Hikmahanto juga menyoroti seruan DPR RI untuk seluruh negara ASEAN agar kompak mengimplementasikan Five Point of Consensus (5PC) dalam penanganan krisis di Myanmar. Terlebih parlemen negara Asia Tenggara melalui Sidang Umum ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-44 telah menghasilkan konsensus yang mengeksplorasi mekanisme dan dapat digunakan untuk mengawasi implementasi 5PC yang menjadi pedoman terkait situasi di Myanmar agar kembali aman dan damai.
Pada Sidang Umum AIPA ke-44, parlemen se-Asia Tenggara juga sepakat membentuk komite Ad-Hoc untuk membantu Myanmar mencapai solusi damai dan berkelanjutan. AIPA juga berencana mengirimkan perwakilan berupa task force (satuan tugas) ke Myanmar dalam rangka memantau penyelesaian krisis kemanusiaan dan melihat kondisi masyarakat di sana yang terdampak konflik.
"Langkah yang hendak dilakukan patut diapresiasi di mana dialog dikedepankan," papar Hikmahanto.
Simak Video 'Wapres AS Puji Jokowi dan Gala Dinner KTT ASEAN: Melebihi Hollywood:
Hikmahanto menjelaskan dukungan terhadap implementasi 5PC di Myanmar merupakan langkah positif dalam mendukung nilai-nilai perdamaian yang dianut di ASEAN. Meski demikian, ia mendorong agar AIPA lebih mengintervensi pemimpin di Asia Tenggara. Hal ini mengingat korban rakyat sipil di Myanmar semakin banyak.
"AIPA perlu mendorong agar Kepala Pemerintahan dan negara ASEAN mendiskusikan opsi lain agar korban sipil di Myanmar tidak terus berjatuhan," sebutnya.
"Salah satunya dengan memanfaatkan instrumen Responsibility to Protect (R2P) yang dikenal dalam hukum internasional," imbuhnya.
Dijelaskan Hikmahanto, Responsibility to Protect merupakan prinsip dalam hubungan internasional untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan setiap negara bertanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyat dari empat jenis kejahatan tersebut.
Melalui instrumen ini, komunitas internasional juga bertanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut. Jika suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi.
Hikmahanto menjelaskan intervensi dilakukan guna menyelamatkan masyarakat dari pemusnahan massal dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Adapun prinsip ini telah serempak didukung oleh komunitas internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005, di mana negara-negara di dunia berjanji untuk menjunjung prinsip 'Responsibility to Protect' agar dunia tidak pernah lagi menyaksikan tragedi kemanusiaan.
Meski demikian, Hikmahanto menekankan agar instrumen ini dilakukan untuk pencapaian damai di Myanmar tanpa penggunaan kekerasan dan lebih pada pendekatan ekonomi.
"R2P yang dilaksanakan sebaiknya tidak menggunakan senjata tetapi melakukan embargo ekonomi," paparnya.
Sementara itu, usai menghadiri pembukaan KTT ke-43 ASEAN di Jakarta, Selasa (5/9), Puan menekankan pentingnya sinergi antara parlemen dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi situasi dan tantangan global.
"Sinergi antara pemerintah dan parlemen adalah kunci dalam menjawab tantangan global yang semakin kompleks," kata Puan.
Cucu Bung Karno itu mengatakan sinergi antara DPR RI dan Pemerintah mencakup dalam hal diplomasi regional. Hal ini termasuk partisipasi aktif Parlemen dalam berbagai forum internasional, termasuk ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang telah menjadi platform penting untuk mendiskusikan isu-isu penting di kawasan ASEAN.
"Parlemen di seluruh negara anggota ASEAN memiliki tanggung jawab besar untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan dan menjalankan peran pengawasan yang efektif. Hal ini akan memungkinkan ASEAN bersatu dalam menghadapi berbagai tantangan global," paparnya.
Di sisi lain, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon berharap seluruh negara ASEAN sepakat mengimplementasikan Five Point of Consensus (5PC) dalam penanganan krisis di Myanmar. Ia menilai momen KTT ke-43 ASEAN bisa mengukuhkan kembali komitmen negara-negara Asia Tenggara.
"Harusnya KTT ASEAN bisa kompak soal implementasi 5PC. Jangan sampai ada negara anggota ASEAN yang secara sepihak mengambil inisiatif sendiri tanpa koordinasi ASEAN," tutup Fadli.