Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan konstitusi Bangsa Indonesia telah mengalami 4 kali amandemen. Namun menurutnya masih banyak ruang kosong yang belum tercover. Salah satunya, konstitusi tidak memberikan pintu darurat manakala terjadi kondisi kegentingan politik.
Bamsoet pun mencontohkan tidak adanya ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota, apabila pemilu tidak bisa dilaksanakan karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi.
"Jika pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi, maka secara hukum tidak ada anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah maupun presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk pemilu. Menteri pun sudah berakhir masa jabatannya karena mengikuti masa jabatan presiden yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri," katanya dalam keterangannya, Selasa (29/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam keadaan tersebut timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan darurat politik tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilu tertunda?," lanjut Bamsoet dalam podcast Akbar Faizal Uncensored Spesial HUT ke-78 MPR RI, di Plaza Gedung Nusantara V MPR RI, Jakarta. Acara tersebut ia hadiri bersama dengan Yusril Ihza Mahendra.
Ketua DPR RI ke-20 ini menekankan di masa sebelum amandemen keempat konstitusi, MPR RI bisa mengeluarkan Ketetapan (TAP) yang bersifat pengaturan untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi. Kendati demikian saat ini masih terdapat perdebatan perihal kewenangan MPR tersebut.
"Prof Yusril berpandangan, tanpa amandemen konstitusi maupun menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, MPR RI tetap bisa mengeluarkan TAP," terang Bamsoet.
Adapun caranya, yakni melalui Sidang Paripurna MPR RI yang memutuskan MPR RI bisa mengeluarkan TAP MPR RI. Lebih lanjut Bamsoet menjelaskan berdasarkan Pasal 7 UU No.12/2011, hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, UU/Perpu, dan seterusnya.
"Posisi TAP MPR yang lebih tinggi dari UU secara otomatis bisa menghapuskan ketentuan Penjelasan Pasal 7 UU No.12/2011 yang membatasi masa berlakunya TAP MPR RI," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar pun menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI melalui Tap MPR RI. Seperti halnya presiden yang memiliki kewenangan Perppu jika terjadi kedaruratan atau kegentingan memaksa.
TAP MPR RI dinilainya dapat menjadi solusi terhadap berbagai persoalan negara manakala dihadapkan pada situasi kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
"Misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR RI dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Mengingat sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara," pungkas Bamsoet.
(akd/ega)