TNI terlibat adu argumen dengan Imparsial terkait urusan perwira hukum TNI menjadi penasihat hukum sipil. Pernyataan Imparsial yang menyebut aturan hukum tidak dipahami secara komprehensif dibalas TNI dengan menyinggung soal komentar tendensius.
Silang pendapat bermula dari pernyataan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro yang mengatakan seorang perwira hukum bisa menjadi penasihat hukum dalam persidangan. Kresno menyampaikan penjelasan tersebut buntut ramai kasus Mayor Dedi yang mendatangi Polrestabes Medan untuk meminta penangguhan penahanan terhadap keponakannya, Ahmad Rosid Hasibuan (ARH).
"Apakah perwira hukum seperti saya dapat menjadi penasihat hukum apa nggak? Dalam hal ini adalah Mayor DH itu bisa nggak dia jadi penasihat hukum dan beracara di dalam sidang pemeriksaan atau sidang pengadilan? Ini kan karena di media beredar bahwa TNI itu tidak boleh beracara di sidang kan. Banyak media meliput seperti itu, pertanyaannya boleh," kata Kresno dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (10/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kresno mengatakan hal ini tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1971. SE itu berbunyi anggota militer yang bekerja sebagai penasihat hukum dapat menjadi pendamping di pengadilan.
"Ada surat edaran Mahkamah Agung Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1971 yaitu adalah pegawai negeri atau anggota militer yang melakukan pekerjaan sebagai pembela atau penasihat hukum di muka pengadilan itu menjadi dasar kita untuk mengikuti, mendampingi di dalam sidang di pengadilan," ujar Kresno.
Kritik Imparsial
Direktur Imparsial Gufron Mabruri lalu mengkritik pernyataan Kababinkum TNI Laksda Kresno Buntoro yang menyebut seorang perwira hukum bisa menjadi penasihat hukum dalam persidangan. Imparsial menilai pernyataan Laksda Kresno keliru.
"Kami memandang, pernyataan Kababinkum TNI yang menyatakan anggota TNI dapat memberi bantuan hukum bagi prajurit TNI dan keluarga menunjukkan bahwa Kababinkum tidak memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan hukum. Hal itu dapat dilihat dari adanya pemahaman yang salah dan keliru terhadap beberapa aturan terkait bantuan hukum," ujar Gufron dalam keterangan yang diterima detikcom dengan judul 'Pernyataan Kababinkum Keliru, Prajurit TNI Tidak Boleh Menjadi Penasihat Hukum dalam Lingkup Peradilan Umum', Sabtu (12/8).
Gufron membenarkan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI berhak mendapatkan bantuan hukum. Hal itu diatur dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 16 dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik), hingga Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
"Namun demikian, secara khusus bagi lingkungan TNI, jaminan bantuan hukum kembali ditegaskan dalam pasal Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang pada intinya adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas. Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f yang menyatakan "prajurit dan prajurit siswa mendapatkan rawatan dan layanan kedinasan meliputi... (f). bantuan hukum". Selanjutnya Pasal 50 ayat 3 "keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan meliputi... (c). bantuan hukum"," tegas Gufron.
Gufron memandang pasal-pasal tersebut harus dipahami adanya jaminan negara kepada siapapun, termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI, untuk memperoleh bantuan hukum. "Pasal-pasal tersebut jika dicermati tidak ada yang menyebutkan adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan/ bantuan hukum dalam lingkup (yurisdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan koneksitas," lanjut Gufron.
Menurut Gufron, hak untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) UU TNI tidak boleh ditafsirkan bahwa bantuan hukum tersebut harus atau bisa berasal dari institusi TNI. Apalagi bila lingkup peradilan yang memproses kasus hukum itu bukan peradilan militer atau peradilan koneksitas.
"Dalam kasus keluarga Mayor Dedi Hasibuan yang tunduk pada peradilan umum, hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut harus tunduk pada UU Advokat No. 18 tahun 2003," ucap Gufron.
Gufron menambahkan dasar hukum yang disebutkan oleh Laksda Kresno terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971 juga salah dan keliru.
"Karena SEMA No. 2 Tahun 1971 sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut. PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun 74, yang juga telah dicabut melalui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No. 94 tahun 2021. Dimana dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No 2 Tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya," tutur Gufron.
Gufron menjelaskan aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum, yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan salah satunya adalah UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan pemberi bantuan hukum/pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
"Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 92 ayat 3, 'Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat'. Oleh karena itu, merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat," tegas Gufron.
Kerancuan hukum tersebut, jelas Gufron, diperparah dengan keengganan pemerintah yang belum merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Atas hal tersebut, Gufron mendesak 3 hal.
"Presiden memerintahkan Panglima TNI untuk mengevaluasi Kababinkum TNI (Laksda Kresno) yang telah salah dan keliru menafsirkan aturan perundang-undangan sehingga menimbulkan polemik hukum dan dikhawatirkan membenarkan perilaku Prajurit TNI untuk menjadi penasihat hukum di peradilan umum," ucap Gufron.
Kedua, Gufron mendesak Panglima TNI melarang anggota TNI untuk bertindak sebagai advokat di peradilan umum dan jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan peran TNI harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
"Presiden Joko Widodo, segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer, yang telah menyebabkan disharmoni dan kontradiksi norma dan penegakan hukum di Indonesia, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam Nawacita Presiden sejak tahun 2014," tambahnya.
Respons TNI
Kapuspen TNI Laksamana Muda (Laksda) Julius Widjojono buka suara atas kritik dari Imparsial. Dia menjelaskan soal tidak adanya penolakan dari hakim terkait perwira TNI menjadi penasihat hukum,
"Pada saat ini, bantuan hukum yang diberikan Dinas (Pakum yang beracara di pengadilan) tidak ada penolakan dari hakim pada semua level pengadilan, baik pidana maupun perdata. Terima kasih," ujar Julius kepada wartawan, Sabtu (12/8/2023).
Julius juga memberikan file Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Lingkungan TNI. Aturan ini disahkan dengan keputusan Panglima TNI nomor KEP/1089/XII/2017 tanggal 27 Desember 2017.
Pada poin 12 huruf c, tertulis siapa saja keluarga prajurit/PNS TNI yang bisa menerima bantuan hukum. Di sana tertulis istri/suami, anak, janda, orang tua, mertua, saudara kandung, ipar, hingga keponakan. Berikut bunyinya:
Janda/Duda, orang tua, mertua dan saudara kandung/ipar serta keponakan Prajurit/PNS TNI diajukan langsung secara perorangan oleh Prajurit TNI dan PNS TNI serta diketahui Dan/Kasatker.
Kemudian poin 13 huruf b dan c tertulis mengenai ketentuan bantuan hukum bagi keluarga prajurit TNI. Berikut bunyinya:
poin 13 b
Dalam hal permohonan bantuan hukum dari Prajurit TNI dan PNS TNI beserta keluarganya berlawanan dengan kepentingan dinas TNI, maka bantuan hukum diberikan kepada para pihak secara berimbang dengan tetap mengutamakan kepentingan dinas TNI.
poin 13 c
Dalam penyelesaian perkara khusus yang mendapat perhatian masyarakat, pemberian bantuan hukum dapat dilaksanakan oleh Tim yang anggotanya terdiri atas perwira hukum Babinkum TNI dan Angkatan serta Advokat di luar TNI.
"Tambahan bahwa perwira hukum TNI tetap dapat beracara di pengadilan. Persyaratannya: perwira hukum itu mempunyai kualifikasi serta dilengkapi dengan surat perintah, surat kuasa khusus, surat dari instansi TNI tentang permohonan beracara penasihat hukum TNI, kelengkapan tersebut dileges di kepaniteraan pengadilan," jelas Julius.
"Kita sudah lama beracara di pengadilan, baik pidana maupun perdata," lanjutnya.
Lihat juga Video 'Kronologi Rombongan Anggota TNI Geruduk Polrestabes Medan':
Simak selengkapnya di halaman berikutnya
Balasan Imparsial
Imparsial kembali menanggapi atas pernyataan TNI. Imparsial tetap menganggap tindakan soal bantuan hukum dari perwira TNI kepada warga sipil bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Advokat.
Deputi Imparsial Ardi Manto awalnya menyoroti TNI yang melandaskan argumentasi soal perwira jadi penasihat hukum berdasarkan Keputusan Panglima TNI KEP/1089/XII/2017.
"Pernyataan Kapuspen TNI yang mendasarkan argumentasinya pada KEP/1089/XII/2017 adalah juga tidak tepat, karena Keputusan Panglima TNI itu sendiri bertentangan dengan UU Advokat," kata Ardi kepada wartawan, Sabtu (12/8/2023).
Ardi menekankan bahwa pemberi bantuan hukum tidak boleh berstatus pegawai negeri dan pejabat. Sementara, kata dia, TNI merupakan profesi yang masuk kualifikasi pejabat berdasarkan Pasal 92 ayat (3) KUHP.
"Pemberi bantuan hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat, sementara, prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 92 ayat (3) KUHP adalah termasuk dalam kualifikasi pejabat," ucapnya.
Lebih lanjut, Ardi juga menyoroti Keputusan Panglima No 1089 yang disinggung oleh Kapuspen TNI. Menurutnya, Keputusan Panglima tersebut masih menggunakan paradigma Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang harusnya sudah diganti dan diubah.
"Paradigma Keputusan Panglima No. 1089 tersebut masih menggunakan paradigma UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, di mana seharusnya UU tersebut telah diganti/diubah karena tidak memberikan batasan yang tegas antara yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer," ujar dia.
"Silang sengkarut masalah ini semakin membuktikan pentingnya Pemerintah untuk segera merevisi UU No 31 tahun 1997 agar tidak ada lagi pertentangan norma hukum," lanjut dia.
Selain itu, dia juga berpendapat Keputusan Panglima TNI tidak punya kekuatan hukum karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
"Keputusan Panglima TNI tersebut juga dengan sendirinya tidak punya kekuatan hukum karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu UU Advokat," imbuhnya.
TNI Sebut Imparsial Tendensius
Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono mengatakan ucapan Imparsial tidak berdasar. Dia juga menyebut pernyataan Imparsial tendensius.
"Tanggapan yang disampaikan oleh Direktur Imparsial (Gufron Mabruri) sangat tidak berdasar, karena ada beberapa produk hukum yang masih berlaku dikatakan tidak berlaku, ada beberapa produk hukum yang disampaikan tetapi tidak ada kaitannya dengan substansi/materi yang dibahas. Selain itu komentarnya sangat tendensius dan mengarah kepada perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," ujar Julius dalam keterangannya, Minggu (13/8/2023).
Julius mengatakan bantuan hukum di lingkungan TNI, kata dia, merupakan usaha untuk memberikan konsultasi hukum secara langsung ataupun tidak untuk kepentingan dinas.
"Bantuan Hukum di lingkungan TNI merupakan segala usaha, pekerjaan, dan kegiatan yang dilakukan baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik di luar Pengadilan dalam hal memberikan nasihat dan konsultasi hukum, maupun secara langsung beracara di segala tingkatan pengadilan," kata dia.
"Guna bertindak selaku kuasa, mewakili, mendampingi, membela, ataupun melakukan tindakan hukum lainnya untuk kepentingan dinas atau sebagai bagian dari rawatan kedinasan atau di luar rawatan kedinasan terhadap Prajurit TNI dan PNS di lingkungan TNI beserta keluarganya, serta prajurit Siswa," tambahnya.
Julius menerangkan, pemberian bantuan hukum di lingkungan TNI merupakan fungsi utama dari Babinkum TNI. Penyelenggaraan bantuan hukum merupakan pemenuhan hak prajurit yang dilindungi oleh UU.
"Penafsiran dari pasal 50 ayat (3) UU TNI adalah sudah tepat dan ketentuan ayat (3) ini telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017 tanggal 27 Desember 2017 mengatur tentang Petunjuk Penyelenggaraan Bantuan Hukum di lingkungan TNI," terangnya.
Adapun petunjuk penyelenggaraan bantuan hukum itu ditindaklanjuti oleh setiap Matra melalui:
1.Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor: Skep/87/III/1997 tanggal 5 Maret 1997 tentang Buku Petunjuk Administrasi tentang Bantuan dan Nasehat Hukum.
2. Petunjuk Teknik Kepala Staf Angkatan Laut Nomor: JUKNIK/01/I/1980 tanggal 25 Januari 1980 tentang Petunjuk Teknik Pemberian Bantuan Hukum di lingkungan TNI AL.
3. Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Nomor: Skep/20/III/2004 tanggal 16 Maret 2004 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan TNI AU tentang Bantuan Hukum.
Sedangkan, kata dia, praktik pemberian bantuan hukum TNI telah berjalan lama dan selalu diterima di setiap tingkatan pengadilan. Penasehat Hukum TNI ketika memberikan bantuan hukum selalu disertai Surat perintah, Surat Kuasa Khusus, Syarat dari Instansi TNI tentang Permohonan Beracara Penasehat Hukum TNI, dan Kelengkapan tersebut dileges di Kepeniteraan Pengadilan sebagai permohonan ijin beracara secara insidentil kepada Ketua Pengadilan Negeri.