Firsty Ivana Putri menghabiskan jam makan siangnya dengan buru-buru. Seperti hari-hari kerja lainnya, Firsty memang tidak punya banyak waktu untuk beristirahat. Sebab, dalam satu hari kerja, ia harus menangani 5-6 pasien tanpa jeda.
"Aku emang biasanya begini, Mbak. Di sela-sela jam terapi, aku sempatkan minum atau makan camilan. Kalau nggak gini, aku nggak makan sama sekali," kata Firsty di sela liputan Sosok detikcom.
Firsty adalah seorang terapis untuk anak berkebutuhan khusus sejak 2018. Ia bekerja di YPAC Jakarta, sebuah organisasi non-profit yang aktif memberi pendampingan dan pengembangan anak berkebutuhan khusus, terutama Cerebral Palsy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bidang yang didalami Firsty bernama Okupasi Terapi, yaitu terapi yang bertujuan memandirikan seseorang dengan gangguan mental, fisik, dan lain-lain. Melalui Okupasi Terapi, pasien dilatih untuk tidak terlalu bergantung dengan orang lain.
"Jadi, dalam OT (Okupasi Terapi) sendiri, kita punya tiga area. Ada produktivitas, seperti bekerja, bersekolah, terus bermain untuk anak-anak, kemudian ada ADL (Activities for Daily Living). Jadi, bagaimana seseorang ini menjalani hidupnya sehari-hari. Seperti makan, minum, berpakaian, dan lain-lain," tutur Firsty.
Ibunda Firsty sendiri adalah terapis wicara. Tak heran, Firsty sudah familiar dengan bidang pengembangan anak berkebutuhan khusus sejak ia kecil. Dari sini, Firsty akhirnya mengetahui kurangnya tenaga terapis di bidang Okupasi Terapi di Indonesia.
"Mungkin memang orang-orang di sekitar belum banyak yang tahu mengenai okupasi terapi, mungkin kalau fisioterapi, atau terapi wicara, mereka akan lebih familiar," terang Firsty.
Menjadi terapis okupasi membuka mata Firsty pada kenyataan pahit anak berkebutuhan khusus. Ia seringkali menemui anak yang tak mendapat perawatan optimal atas kondisinya. Kurangnya pengetahuan keluarga mengenai terapi untuk anak berkebutuhan khusus, menyebabkan keluarga melakukan pengabaian atau bahkan menolak keberadaan sang anak.
"Mungkin, yang lebih perlu dikuatkan adalah lingkungan keluarga.Keluarganya harus menyadari anaknya seperti apa. Seringkali orang tua, bahkan nenek atau kakek, itu merasa denial atau menolak keadaan anak, atau teman-teman disabilitas. Jadi, kesannya dibuang. Karena dia malu, anak ini disabilitas," ungkap Firsty.
Sebagai terapis okupasi, Firsty punya misi penting. Selain mendampingi pasien, ia juga bertugas memberi edukasi dan menyemangati keluarga mereka. Firsty tak ingin keluarga pasien menganggap sang anak tak akan bisa hidup mandiri. Sebab, ia sudah melihat sendiri, dengan terapi yang tepat dan rutin, penyandang Cerebral Palsy juga bisa hidup berdikari.
"Saya amat sangat senang kalau pasien saya bisa bersekolah di sekolah umum. Jadi ada beberapa pasien saya yang orang tuanya melihat, 'Kayaknya susah ya Bu, untuk anak ini sekolah di sekolah biasa, kalau di sekolah inklusi bagaimana?' Tapi kenyataannya setelah di terapi, anaknya mampu, dan sekarang bersekolah di sekolah umum," kenang Firsty.
"Itu sih salah satu yang bikin saya, wah, ternyata mereka bisa lho. Ketika mereka diberikan kesempatan," lanjutnya.
Perjuangan Firsty bersama YPAC Jakarta masih panjang. Meski demikian, Firsty masih punya harapan untuk kehidupan penyandang cerebral palsy yang lebih baik dan mandiri.
"Saya memperjuangkan teman-teman disabilitas. Untuk meningkatkan kualitas hidup. Karena, bagaimanapun, mereka akan ditinggalkan. Dengan teman-teman, atau keluarga. Mungkin, dengan menikah, atau memang sudah beda alam atau meninggal, seperti itu. Atau misalkan memang sudah tidak ada yang mengurus lagi. Jadi, setidaknya, teman-teman disabilitas bisa hidup secara mandiri," pungkas Firsty.
(vys/vys)