Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung sikap Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi yang akan memanggil Dubes Swedia dan Denmark. Sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia menolak keras pelanggaran HAM dalam bentuk penistaan agama.
Melalui pertemuan tersebut, secara resmi Indonesia meminta agar pembiaran pembakaran kitab suci Al-Qur'an dihentikan oleh Pemerintah Swedia dan Denmark.
Sebagaimana diketahui, dalam beberapa pekan ke belakang marak kasus pembakaran Al-Qur'an di sejumlah negara Eropa khususnya Swedia dan Denmark. Oleh karenanya, HNW juga mengingatkan agar sikap terbuka Menlu RI yang mendesak agar Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk menyampaikan pesan agar kasus ini diseriusi dan dikawal. Sehingga, mewujud menjadi koreksi yang efektif menguatkan toleransi dan menghentikan terulang dan menyebarnya penistaan agama (Islam) dengan pembakaran Al-Qur'an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sikap Menlu Retno dalam pertemuan luar biasa Menlu anggota OKI pada Senin kemarin patut diapresiasi dan didukung. Namun, yang lebih penting dan mendesak adalah agar kita ajakan Menlu RI dikawal dengan serius sehingga bisa diwujudkan, dan agar juga bisa diperluas menjalin kolaborasi tidak hanya dengan OKI tetapi juga dengan organisasi Islam maupun komunitas internasional pro HAM tapi anti penistaan agama," ungkap HNW, dalam keterangannya, Rabu (2/8/2023).
"Karena dampak negatif dari pembiaran penistaan agama melalui pembakaran kitab suci seperti Al-Qur'an itu akan sangat membahayakan harmoni dan toleransi di tingkat global juga. Hal buruk yang harus dicegah dan dihindari oleh semua pihak," sambungnya.
Bukan hanya perlu 'dikecam', HNW menyebut aksi pembakaran dan penistaan Al-Qur'an juga harus 'dikoreksi' secara konkret. Salah satu upayanya yakni melalui mekanisme hubungan atau hukum internasional yang tersedia.
"Dengan terus berulangnya pembakaran Al-quran padahal negara-negara OKI dan masyarakat Islam internasional sudah menyuarakan penolakannya, maka negara-negara OKI perlu bebas berpendapat dengan mempertimbangkan ulang hubungan politik dan kerja sama ekonomi dengan negara-negara yang dengan dalih kebebasan berpendapat malah membiarkan peristiwa pelanggaran HAM berupa penistaan agama dengan pembakaran kitab suci Al-quran, terus terulang," ujar HNW.
Pendapat HNW mengacu pada Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM). Inti dari deklarasi tersebut adalah bagaimana hak-hak asasi dan kebebasan yang diberikan harus dijalankan dengan menghormati hak orang lain.
"Pembakaran Al Quran itu jelas bukan pelaksanaan HAM dan kebebasan berekspresi, karena jelas-jelas tidak menghormati orang lain, terutama sekitar 2 miliar umat Islam yang ada di seluruh dunia," tukasnya.
Sejak awal, HNW mengecam tindakan pembiaran pembakaran Al-quran dan berkali-kali menyerukan agar dunia Islam bersatu untuk mengoreksi dan menghentikan tindak intoleransi dan pelanggaran HAM dalam bentuk pembakaran kitab suci alQuran. Ia pun mengapresiasi langkah Menlu.
"Saya juga sudah menyuarakannya sejak awal tindakan intoleran itu dilakukan di Swedia maupun Denmark. Tapi sepertinya kecaman saja tidak cukup," kata HNW.
"Perlu ada langkah konkret dan tegas bagi dunia Islam termasuk OKI untuk mendesak negara-negara tersebut menghormati HAM internasional, serius menjaga toleransi, dengan menghentikan pembakaran Al-quran, dan merevisi UU yang mengatur kebebasan berpendapat di level nasionalnya agar sesuai dengan prinsip Deklarasi HAM Dunia di atas, juga agar selaras dengan Keputusan Mahkamah HAM Eropa dan keputusan terakhir Dewan HAM PBB," lanjutnya.
Simak juga 'Demo Besar-besaran di Baghdad Buntut Pembakaran Al-Qur'an di Denmark':
Anggota DPR RI dari Dapil DKI Jakarta II yang meliputi luar negeri ini menjelaskan bahwa pihak Swedia dan Denmark tidak cukup hanya 'mengecam' perilaku tersebut dan berdalih tidak bisa mengkriminalisasi karena dalih UU yang mengatur kebebasan berpendapat di negaranya.
"Apabila itu persoalannya, maka negara-negara tersebut harus merevisi aturan hukum nasionalnya agar bisa menghormati orang lain. Itu baru mencerminkan negara demokrasi yang maju, toleran dan menghormati HAM," tukasnya.
Apalagi, lanjut HNW, instrumen hukum internasional dan Eropa juga memberi batasan yang jelas antara kebebasan berekspresi dan penistaan agama. Beberapa instrumen hukum tersebut, di antaranya, adalah Resolusi Dewan HAM PBB nomor A/HRC/53/L/23 yang diputuskan pada 12 Juli 2023 di Jenewa, Swiss.
Selain itu, ada juga putusan Pengadilan HAM Eropa pada 2018 lalu yang menyatakan bahwa penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW merupakan penistaan agama, dan tidak termasuk kebebasan berekspresi. Hal sejenis, seharusnya juga diterapkan terhadap kasus berulang pembakaran kitab suci Al-quran bahwa itu juga bukan termasuk kebebasan berekspresi.
"Dan apabila memang negara-negara tersebut 'ngotot' melindungi perilaku intoleran pembakaran kitab suci Al-quran dengan dalih kebebasan berpendapat, maka 57 negara yang tergabung pada OKI mestinya juga bisa bersikap bebas untuk menyelamatkan kemaslahatan HAM-nya, dengan mengkonsolidasikan upaya-upaya yang lebih efektif," imbuh HNW.
"Bahkan kalau perlu hingga mengucilkan negara-negara tersebut dari hubungan politik dan ekonomi (boikot produk-produk asal Swedia dan Denmark) khususnya dengan negara-negara anggota OKI, hingga perilaku intoleran dan penistaan agama tersebut benar-benar dapat diakhiri dan para pelakunya bisa dihukum secara tegas, adil dan benar," pungkasnya.