Jakarta - Peristiwa 30 September 1965 menjadi titik hitam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tanggal itu terjadi penculikan sejumlah jenderal di Lubang BUaya. Namun perihal penyiksaan di malam itu, dibantah oleh pakar sejarah Indonesia dari LIPI, Asvi Warman Adam. Menurut dia fakta yang terjadi adalah penculikan bukan penyiksaan."Penyiksaan di Lubang Buaya itu hanya propaganda. Kampanye yang dilakukan koran militer Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata waktu itu," kata Asvi di sela-sela acara seminar di CSIS, Jl Tanah Abang III, Jakarta, Jumat (29/9/2006)Berdasarkan hasil visum terhadap 7 jenderal tersebut tidak ditemukan bukti-bukti adanya penyiksaan."Yang ada hanya bukti penembakan. Tidak ada luka penyiksaan seperti penyiletan kemaluan," ujarnya.Asvi juga mengatakan, bahwa pada malam itu tidak terjadi tari-tarian yang dilakukan oleh para wanita. "Kenyataannya tidak ada karena orang-orang yang disuruh menari, sudah diwawancarai dan masih hidup sampai sekarang. Jadi ada yang ditangkap, disuruh menari kemudian dipotret di kantor polisi bukan di Lubang Buaya,"Asvi juga mempertanyakan, sikap pemerintah yang smpai saat ini masih diskriminatif, terhadap anak dan keluarga anggota PKI."Yang lebih mengenaskan adalah stigma korban tahun 1965 dan diskriminasi. Anak-anak mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri, tentara, guru atau lainnya, nah kenapa itu dilakukan,"Asvi menambahkan, jika motifnya adalah konflik horizontal yang terjadi sebelum tahun 1965, lalu kenapa tidak berhenti pada tahun 1966. Dan kenapa stigma terus berlanjut hingga saat ini.Pemerintah seharusnya melakukan pelurusan sejarah. Dan tidak melakukan cara-cara Orba dalam melihat peristiwa 30 September."Kita perlu perbaiki kurikulum pelajaran sejarah. Kenapa 30 September itu identik dengan PKI," pintanya.
(ahm/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini