Pemerintah tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Perdata Internasional (HPI). Terkait substansi pengaturannya akan merujuk ke dua konvensi di bawah The Hague Conference on Private International Law (HCCH) atau Konferensi Den Haag tentang Hukum Perdata Internasional.
"Pemerintah telah melakukan pertemuan bilateral dengan pihak HCCH dalam rangka penyusunan RUU Hukum Perdata Internasional agar menghasilkan draf yang bisa memberikan kepastian hukum dan akses keadilan (access to justice) khususnya kepada masyarakat Indonesia yang melakukan perbuatan keperdataan dan komersial yang bersinggungan dengan asing dalam hal pemilihan hukum (choice of law), pemilihan forum (choice of forum) dan pengakuan dan pelaksanaan putusan asing (recognition and enforcement foreign judgment)," kata Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), C Kristomo, sebagaimana dilansir websitenya, Jumat (28/7/2023).
Dua konvensi di bawah HCCH itu yakni The Convention of 30 June 2005 on Choice of Court Agreements dan The Convention of 2 July 2019 on the Recognition and Enforcement of Foreign Judgements in Civil or Commercial Matters untuk menyelesaikan sengketa keperdataan dan komersial lintas batas. HCCH merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang Hukum Perdata Internasional yang menyediakan instrumen hukum perdata internasional dengan tujuan mengunifikasi sistem hukum perdata internasional negara-negara di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal tersebut sejalan dengan Business Ready (B-Ready) topic areas yang dikeluarkan Word Bank tahun 2023 terkait dengan Dispute Resolution dalam Operating and expanding a business," ungkap C Kristomo.
Harapannya, lanjut Kristomo, draf RUU Hukum Perdata Internasional nantinya dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa internasional dengan memberikan pengaturan hukum yang jelas dan sederhana untuk proses pengakuan dan pelaksanaan putusan asing termasuk dalam ketiadaan perjanjian resiprokal antara negara di mana putusan pengadilan dikeluarkan dan negara di mana debitur berada. Dalam hal ini, team B-Ready World Bank menggunakan instrumen HCCH 2019 sebagai instrumen pengakuan dan pelaksanaan putusan asing.
"Terkait dengan hasil bilateral meeting, Sekjen HCCH menyampaikan harapannya sekiranya Indonesia dapat menjadi anggota HCCH di mana keikutsertaan Indonesia akan memperkuat suara ASEAN di forum HCCH maupun forum multilateral lainnya terkait perdata internasional," kata Kristomo.
Sebagai informasi, Saat ini Indonesia telah mengaksesi konvensi di bawah HCCH, yaitu The Convention of 5 October 1961 Abolishing the Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents atau Konvensi Apostille. Konvensi Apostille ini sangat memberikan manfaat yang besar dalam hal penyederhanaan proses legalisasi dokumen publik yang akan digunakan di luar negeri. Sementara itu, terkait dengan The Convention of 30 June 2005 on Choice of Court Agreements dan The Convention of 2 July 2019 on the Recognition and Enforcement of Foreign Judgements in Civil or Commercial Matters, tak menutup kemungkinan dipertimbangkan untuk dilakukan aksesi di Indonesia.
"Permasalahan hukum lintas batas dan kebutuhan WNI yang diidentifikasi di Belanda menjadi pembahasan bersama dengan perwakilan KBRI di Belanda. Sebagai contoh, misalnya terkait perkawinan campur beserta akibatnya; kemudahan berusaha yang melibatkan warga kedua belah pihak; isu apostile; dan pergerakan lintas batas orang dan barang," papar Kristomo.
(asp/zap)