Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur mendukung perlunya aturan hukum terhadap pengobatan yang belum berbasis bukti. Hal ini dia ungkapkan saat menjadi penguji dalam ujian sidang tertutup disertasi Mayjen TNI dr. Sutan Finekri Arifin Abidin, Selasa (18/7). Sutan diketahui merupakan mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur.
Bamsoet mengatakan disertasi Sutan mengangkat tema 'Perlindungan Hukum Terhadap Pasien dari Pelaku Pengobatan yang Belum Berbasis Bukti (Evidence Based Medicine)'. Menurutnya, penelitian ini menjadi relevan dengan telah disahkannya RUU Kesehatan oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa (11/7) lalu.
Apalagi dengan adanya kemudahan bagi para dokter asing melakukan praktik kedokteran di Indonesia, pemerintah dinilai perlu melakukan pengawasan yang ketat sebagai bagian dari perlindungan terhadap pasien.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika perlu, sebagaimana yang juga menjadi temuan dalam penelitian ini, pemerintah bisa membuat lembaga khusus yang menjalankan tugas dan fungsi dalam pengawasan praktik dokter asing. Lembaga khusus tersebut bisa terdiri dari perwakilan pemerintah dalam Kementerian Kesehatan, penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan, akademisi dan praktisi dunia kesehatan, serta organisasi profesi," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (18/7/2023).
Bamsoet menjelaskan penelitian ini menekankan pentingnya aturan hukum yang jelas terkait pemberian sanksi kepada dokter yang melakukan pengobatan belum berbasis bukti (evidence based medicine). Sanksi yang diberikan, antara lain bisa terdiri dari peringatan tertulis, pencabutan surat tanda registrasi atau izin praktik.
Selain itu, sanksi juga bisa diberikan berupa kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika bisa disanksi dengan dijatuhi hukuman pidana kurungan paling lama satu tahun.
"Penelitian ini juga menekankan perlunya pemerintah membentuk lembaga independen yang khusus mengkaji berbagai temuan yang dihasilkan oleh dokter sebelum dipublikasikan atau dipraktikan dalam tindakan medik. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi dokter yang mempromosikan atau menawarkan sebuah produk suplemen yang belum berbasis bukti (evidence based medicine), sekaligus menghindari pasien mendapatkan pengobatan yang tidak didasari dengan bukti-bukti ilmiah yang relevan," jelasnya.
Bamsoet juga menerangkan perlindungan hukum terhadap pasien bukan hanya mewujudkan kepastian hukum. Menurutnya, hal ini juga untuk memenuhi hak-hak pasien, yang meliputi hak kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar serta jujur dan tidak diskriminatif.
"Selain hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya," ucap Bamsoet.
Sebagai informasi, Sutan merupakan dosen tetap Universitas Pertahanan (UNHAN) yang juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UNHAN, serta Komite Hukum Perumahsakitan RSPAD Gatot Subroto.
Selain Bamsoet, disertasi miliknya juga diuji oleh penguji internal Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, Dr. Ahmad Redi, Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Ko. Promotor Dr. Suparno. Serta penguji eksternal Prof. Ade Saptomo dari Universitas Pancasila.
Simak juga 'Upaya Pengobatan yang Diberikan Kemenkes untuk Cegah Antraks Meluas':