Jaksa penuntut umum menghadirkan ahli Pidana Universitas Pancasila, Agus Surono, dalam sidang lanjutan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Surono bicara mengenai kritik atau kebebasan berpendapat dengan disertai kaidah kesopanan.
Mulanya jaksa penuntut umum (JPU) bertanya keberadaan UU ITE yang kerap dianggap mengkriminalisasi sebuah kritik. Jaksa kemudian bertanya maksud kritik dalam UU ITE ini.
"Mohon izin di dalam UU ITE memang tidak secara spesifik mendefinisikan apa sih yang dimaksud dengan kritik. Tapi pada prinsipnya saya mau menyampaikan dalam sidang ini adalah bahwa kebebasan dalam memberikan pendapat itu pada hakikatnya dilindungi oleh konstitusi kita oleh UU kita," kata Surono dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (17/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surono menyebut tak ada maksud spesifik terkait kritik di UU ITE. Namun, lanjut dia, siapa pun yang berpendapat perlu mengedepankan kesopanan.
"Cuma persoalannya bagaimana cara menyampaikan pendapat itu, jadi penyampaian pendapat itu dibebaskan, bebas siapa pun menyampaikan pendapat dan kritik bahkan saya juga sering mengkritik. Tapi saya sampaikan tentu dengan kaidah kaidah kesopanan dan seterusnya," kata Surono.
"Artinya jangan sampai yang kritik yang membangun tadi justru bertentangan dengan hukum," sambungnya.
Ia mengatakan jangan sampai kritik berlawanan dengan hukum. Ia menyinggung terkait pencemaran nama baik yang masuk ke dalam delik aduan bukan delik biasa seperti UU 11 Tahun 2008.
Menurut Surono, inilah bukti perlindungan yang diberikan kepada mereka yang ingin menyampaikan kritik.
"Nah adanya delik aduan ini sebenarnya untuk melakukan satu perlindungan juga kepada mereka yang ingin menyampaikan kritik-kritik yang sifatnya membangun kepada siapa juga karena kritik tidak mesti disampaikan kepada pemerintah," jelasnya.
Ia mengatakan kritik itu harus membangun. Maka dari itu, siapa pun yang merasa menjadi korban atas penghinaan bisa melapor ke kepolisian.
"Ini yang saya kira harus kita catat penerapan pasal 27 ayat 3 itu berubah jadi delik aduan bukan delik biasa lagi. Sehingga harus menunggu adanya suatu aduan dari pihak korban yang merasa di rugikan atas adanya suatu perbuatan yang di kualifikasi dalam pencemaran ataupun penghinaan," tuturnya.
Dalam sidang ini, Surono juga menjelaskan maksud Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mendakwa Haris dan Fatia. Ia menyinggung prinsip kehati-hatian, menurutnya, seseorang perlu berhati-hati dalam mengunggah informasi ke publik.
"Sebenarnya makna prinsip kehati-hatian itu harus kita maknai bahwa sarana elektronik atau sistem elektronik itu dijadikan sebagai tool, sebagai suatu alat di mana ketika alat ini dipergunakan untuk mempermudahkan siapa pun juga, maka tentu harus dilakukan dengan cara yang hati-hati," ujar Surono.
"Penggunaan sarana informasi elektronik yang tujuannya untuk memudahkan. Tapi kemudahan-kemudahan itu harus hati-hati betul penggunaannya supaya tidak melanggar hak-hak orang lain," pungkasnya.
Diketahui, Haris Azhar dan Fatia diadili dalam kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya didakwa mencemarkan nama baik Luhut lewat podcast berjudul 'Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam' yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.
Simak Video: Beri Keterangan di Sidang Haris-Fatha, Ahli Pidana Bicara UU ITE