Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan pentingnya menyiapkan sumber daya muslim yang tidak hanya cinta bangsa, tapi juga berwawasan global dan mendunia. Dengan begitu diharapkan dapat menghadirkan bonus demografi yang positif dan berdampak baik bagi masa depan bangsa Indonesia.
Karena itu dia menilai positif jika semakin banyak mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri, termasuk Mesir. HNW mengatakan negara Indonesia memberikan ruang untuk pengembangan sumber daya manusia berkeunggulan. Kesempatan itu menurutnya jangan sampai disia-siakan.
"Di era globalisasi ini, bila negara mempunyai visi yang kuat sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka semakin mungkin untuk memaksimalkan peran anak bangsa termasuk mahasiswa dan alumni-alumni dari luar negeri. Di sinilah peran dari mahasiswa untuk menjadi sumber daya manusia yang mendunia makin dipentingkan," kata HNW dalam keterangannya, Sabtu (15/7/2023).
Hal tersebut ia sampaikan ketika menerima delegasi Pimpinan Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir. Pertemuan tersebut berlangsung di Ruang Kerja Wakil Ketua MPR, Gedung Nusantara III Lantai 9, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (14/7).
Dia menjelaskan perjalanan sejarah bangsa Indonesia agak berbeda dengan Mesir yang menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pada awal berdiri, lanjut dia, Republik Arab Mesir ada relasi yang kurang harmonis antara militer dan sipil. Sebaliknya, perjuangan kemerdekaan RI justru dimulai dari orang (masyarakat) sipil.
Para tokoh dan bapak bangsa, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Kahar Muzakir, K.H. Mas Mansur, K.H. Wahid Hasyim, adalah orang-orang (masyarakat) sipil. Selain itu, anggota BPUPKI, Panitia Sembilan, pun tidak ada yang berlatar belakang militer.
"Jadi persiapan kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh tokoh-tokoh dari kalangan sipil yang nanti berjuang bersama dengan kalangan militer," ujarnya.
HNW melanjutkan ketika Indonesia akan dijajah kembali oleh Belanda melalui serangan via Surabaya, orang-orang (masyarakat) sipil menggagalkan agresi itu.
Di tengah keterbatasan kemampuan tentara nasional Indonesia, (Jenderal) Soedirman yang sebenarnya juga berbasis sipil karena sebelumnya adalah seorang guru, mengusulkan kepada Bung Karno untuk meminta bantuan kepada para kiai agar menggerakkan umat melawan tentara Belanda.
Bung Karno sepakat, kemudian mengutus Roeslan Abdulgani menemui K.H. Hasyim Asyári. K.H. Hasyim Asyári kemudian mengumpulkan ulama se-Jawa dan Madura. Tidak lama keluarlah fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Fatwa/Resolusi Jihad ini mendorong munculnya anak-anak muda seperti Bung Tomo, Lasykar Santri, Laskar Kiai dan sebagainya dan berhasil menggagalkan agresi sekutu. Masyarakat sipil berhasil menyelamatkan Indonesia.
"Fakta itulah yang membuat relasi antara (umat) Islam, negara, dan TNI, di Indonesia bisa harmoni. Bayangan negara seolah-olah bisa otoriter, militeristik, dan gerakan demokrasi tidak bisa berkembang, tidak terjadi di Indonesia. Karena itu relasi menyejarah yang harmonis seperti itu, perlu terus dijaga dan ditingkatkan," tuturnya.
Oleh karena itu, HNW menyebut perlu disiapkan sumber daya muslim yang cinta bangsa dan memiliki wawasan luas. Harapannya agar Indonesia berjalan sesuai alur sejarahnya dimulai dari bagaimana Indonesia ada dan merdeka, selamat dari pemberontakan PKI, hingga mengapa rakyat menginginkan reformasi.
"Semua bisa terealisasi melalui sumber daya manusia berkeunggulan dengan wawasan mengglobal. Itu bisa dilakukan oleh mahasiswa/diaspora Indonesia yang menyebar di seluruh dunia termasuk di Mesir," katanya.
Simak juga 'Saat HNW Soroti Laporan Keluhan Jemaah Haji RI: Akan Kita Evaluasi':
(prf/ega)