Publik marah betul terhadap begal. Betapa tidak? Warga di jalanan tiba-tiba bisa tewas kena tebas dan hartanya dirampas begal. Wali Kota Medan Bobby Nasution meminta agar begal ditembak mati. Pro dan kontra mengemuka.
Secara umum, perbuatan membegal jelas kriminal dan harus dihukum. Ada pertanyaan radikal untuk menyelisik akar masalah: sebenarnya siapa yang salah apabila begal muncul di tengah-tengah masyarakat? Bila sudah ketemu akar masalahnya, lantas apa solusi yang tepat untuk mengatasi begal? Apakah solusi tembak mati di tempat terhadap begal adalah solusi paling tepat?
detikcom mencari perspektif ahli dengan bertanya ke sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto dan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Adrianus Meliala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begal, problem sistemik atau individu?
Soeprapto dan Adrianus memikirkan apakah masalah begal adalah masalah sistemik atau masalah pilihan hidup individual. Bila ini masalah sistemik, berarti problem begal lahir karena masalah keamanan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan yang secara umum buruk. Bila ini masalah individu, berarti begal muncul karena pilihan hidup si orang yang membegal sendiri, bisa pula didorong oleh kondisi fisik, psikis, dan biologis si individu begal itu.
"Saya lebih mengatakan terjadinya perilaku begal itu penyebabnya sistemik. Kita tidak bisa menyalahkan begal itu saja," kata Soeprapto kepada detikcom, Kamis (13/7/2023).
![]() |
Bukan berarti tidak ada faktor individual dalam pembegalan. Faktor pilihan individu tetap ada. Namun faktor individu tidak akan jalan apabila tidak ada kesempatan yang dibentuk oleh kondisi objektif. Kondisi objektif ditentukan oleh sistem dalam bentuk keamanan wilayah, kondisi ekonomi, pendidikan, hingga politik. Soeprapto mengemukakan rumus kriminalitas:
N + Ks = Kj
Keterangan:
N: Niat
Ks: Kesempatan
Kj: Kejahatan
"Bila seseorang punya niat jahat, niat jahat tersebut tidak akan menjadi kejahatan apabila tidak ada kesempatan," kata Soeprapto.
Perlu ada kontrol dari pemerintahan, aparat keamanan, hingga masyarakat sipil agar lingkungan menjadi aman. Termasuk, perlu ada pendidikan berkualitas bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman. Besarnya tingkat kriminalitas termasuk begal adalah cerminan buruknya sistem pemerintahan yang meliputi keamanan hingga pendidikan. Artinya, ini bukan masalah personal. Adrianus Meliala sepakat.
"Lebih ke soal sistemik," kata Adrianus, dihubungi terpisah oleh detikcom.
Meski begitu, faktor individual yang mendorong seseorang untuk menjadi begal atau bertindak kriminal juga masuk perhitungan. Pada zaman dahulu kala, ada teori dari Cesare Lombroso yang mengatakan kondisi fisik menentukan perilaku seseorang untuk menjadi jahat atau baik. Bila tempurung otak penuh oleh otak, seorang manusia akan bersikap baik. Namun, bila tempurung otak menyisakan rongga udara, seorang manusia cenderung jahat. Namun itu teori dari abad ke-19.
"Sumodijoyo juga mengembangkan ilmu katuranggan, menghubungkan antara ciri fisik dan perilaku. Misalnya, bila bibir tipis, maka cenderung cerewet, dan sebagainya," kata Soeprapto.
Manusia tidak hanya terdiri atas unsur fisik, tapi juga psikologis. Sigmund Freud dikutip Soeprapto menyatakan setiap orang berpotensi berbuat jahat. Namun setiap orang juga dibebani tanggung jawab. Maka tidak setiap orang melakukan kejahatan karena manusia punya sensor untuk mencegahnya berupa nilai sosial, budaya, norma sosial, hingga hukum.
Begal ditembak mati, solusi jitu?
Adrianus Meliala menilai kebijakan tembak mati di tempat terhadap begal (bila direalisasikan) bakal bertentangan dengan nilai hak asasi manusia (HAM). Permintaan atau dukungan Wali Kota Medan Bobby Nasution agar polisi tidak segan menembak mati begal. Adrianus punya pandangan spesifik soal Bobby.
"Ada dugaan kuat bahwa Wali Kota emosional dan sebal terhadap situasi itu, sehingga dalam rangka meresponsnya saya berpendapat semua jajaran di Medan perlu mempertimbangkan secara dingin dan bijak," kata Adrianus.
![]() |
Baca juga: Gaduh! Soal Bobby Dukung Begal Ditembak Mati |
Memang pernyataan itu dinilai Adrianus sudah kelewatan. Namun bisa jadi, dia menduga, ini adalah gimik politik saja. Tentu semuanya sadar bahwa solusi tembak mati di tempat terhadap begal adalah pilihan yang buruk.
"Sikap ini tentu secara perspektif hak asasi manusia, perspektif rule of law, maupun perspektif pelayanan publik tentu tidak bisa diterima," kata Adrianus.
Adrianus menilai masalah begal adalah masalah keamanan yang menjadi domain kepolisian. Bobby sendiri selaku wali kota tidak punya kewenangan menembak orang. Seharusnya aparat keamanan mampu menjaga wilayahnya dari begal-begal.
Karena fenomena begal adalah problem sistemik, solusinya bukan tembak mati di tempat. Satu begal ditembak mati, begal lain masih bisa beraksi. Solusinya adalah pemaksimalan penjagaan keamanan dari kepolisian. Kerja intelijen kepolisian perlu lebih serius.
"Jangan hanya menyalahkan Wali Kota saat bilang tembak mati. Kalaupun Wali Kota bilang begitu, Wali Kota mau menembak dengan apa? Dengan pulpen?" ujar Adrianus.
Soeprapto menilai tembak mati di tempat terhadap begal berarti tidak jauh berbeda dengan main hakim sendiri. Soalnya, tembak mati di tempat tidak melalui proses pengadilan. Ini berbahaya sekali bila diterapkan, seperti pada masa-masa 'petrus' Orde Baru. Bisa-bisa, ada orang yang salah dikira sebagai begal dan ditembak mati, padahal dia bukan begal.
"Saya khawatirnya, bisa dengan mudahnya orang meneriaki orang lain sebagai begal, kemudian orang yang diteriaki begal ditembak mati. Bisa saja. Itu tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Kita di Indonesia menghargai hak asasi manusia," kata Soeprapto.
Tidak ada solusi instan untuk menekan tingkat kriminalitas, termasuk begal. Solusi yang paling baik adalah membenahi sistem, termasuk pemerintahan, keamanan, penegakan hukum yang tegas dan adil, hingga pendidikan.
"Ini persoalan sistemik. Institusi ekonomi, lembaga pendidikan, lembaga agama, melakukan antisipasi," kata Soeprapto.
Selanjutnya, kata Bobby Nasution:
Simak Video 'Gaduh! Soal Bobby Dukung Begal Ditembak Mati':