Anggota DPR Puji Polisi Solo-Bali Terapkan UU TPKS di Kasus Kekerasan Seksual

Anggota DPR Puji Polisi Solo-Bali Terapkan UU TPKS di Kasus Kekerasan Seksual

Eva Safitri - detikNews
Rabu, 12 Jul 2023 01:35 WIB
Didik Mukrianto (dok. ist)
Foto: Didik Mukrianto (dok. ist)
Jakarta -

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menyoroti kasus kekerasan seksual yang tak kunjung surut. Dia mengingatkan pemerintah untuk menerbitkan aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sehingga beleid ini dapat diimplementasikan dengan efektif.

"Kita tidak bisa menutup mata kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini semakin marak, dan ini harus menjadi keprihatinan bersama," kata Didik dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/7/2023).

Didik pun menyoroti kasus kekerasan seksual yang melibatkan warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di mana seorang suami menjual istrinya sendiri ke pria hidung belang dengan dalih kebutuhan ekonomi. Kasus ini ditangani oleh Polresta Solo karena penangkapan terjadi di daerah tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kasus ini menjadi bagian dari fenomena gunung es tindakan kekerasan seksual yang telah menjadi momok di Tanah Air. Sangat miris sekali dan kita ketahui bersama kasus seperti ini sebenarnya banyak ditemukan terjadi di Indonesia," ucapnya.

Didik lantas mengapresiasi Polresta Solo yang menjerat pelaku dengan UU TPKS dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 12-15 tahun penjara.

ADVERTISEMENT

"Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual juga menjadi salah satu obyek yang diatur UU TPKS. Bahkan lebih jauh untuk kasus-kasus tertentu bisa masuk dalam Tindak Pidana Human Traficking dan juga Predicate Crime TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," jelas Didik.

Selain di Solo, Didik juga mengapresiasi penegak hukum juga menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual di Jembarana, Bali. Dua pria paruh baya diadili karena melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis ABG berkebutuhan khusus.

Tindakan polisi dalam penanganan 2 kasus itu menurutnya langkah maju pihak penegak hukum. Sebab, kata Didik, di lapangan masih banyak ditemukan penolakan dari penyidik kepolisian untuk menggunakan UU TPKS dengan alasan belum ada aturan teknis atau pelaksananya.

"Penanganan kasus oleh Polresta Solo dan Polres Jembarana ini adalah langkah maju dari pihak kepolisian yang harus diikuti penyidik-penyidik lainnya dalam kasus kekerasan seksual. Meski berada di daerah, Polresta Solo dan Polres Jembrana telah melakukan terobosan dan patut dicontoh. Khususnya oleh penyidik-penyidik kepolisian yang ada di kota-kota besar," ujar Didik.

Menurutnya, langkah kedua polres tersebut menjadi angin segar di tengah maraknya kasus kekerasan seksual. Dia menilai penyidik seharusnya tak perlu ragu menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual.

"Mestinya Polisi tidak perlu ragu untuk menerapkan UU TPKS dalam kasus-kasus kekerasan seksual walaupun belum ada aturan teknis atau pelaksananya, karena pengaturan dalam UU TPKS terang dan operasional" sebutnya.

"Jika selama ini masih banyak ditemukan keengganan penyidik kepolisian menerapkan UU TPKS dengan alasan belum ada juklak dan juknis, maka saatnya polisi bertindak lebih progresif. Jangan menunggu semakin banyaknya korban berjatuhan," lanjut Didik.

Politikus Demokrat ini mengingatkan UU TPKS dilahirkan untuk meningkatkan awareness masyarakat kepada korban kekerasan seksual dengan harapan bisa mengakhiri budaya kekerasan seksual yang muncul mulai dari lingkup rumah tangga. Selain itu, menurut Didik, juga demi mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual.

"Jadi penanganan kasus kekerasan belum sepenuhnya bergantung pada regulasi ini. Bukan hanya karena belum ada aturan turunannya, tapi juga lantaran kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU TPKS," ujarnya.

Simak selengkapnya di halaman berikut

Didik mengatakan sebenarnya sudah ada banyak kemauan politik (political will) Pemerintah dalam pemberantasan kasus kekerasan seksual di tanah air. Dalam hal ini, political will dari Pemerintah dapat dimaknai dengan sejauh mana komitmen dukungan untuk mencari solusi kebijakan terhadap masalah kekerasan seksual.

"Political will-nya relatif banyak. Instrumen hukumnya juga sudah disempurnakan melalui lahirnya UU TPKS yang diperjuangkan bersama DPR. Tinggal Action will-nya (tindakan terhadap kekerasan seksual) yang harus diperkuat mulai preventifnya, penindakannya dan perlindungan hukumnya," papar Didik.

Hingga saat ini aturan teknis UU TPKS belum juga diterbitkan Pemerintah meski sudah mendapat banyak desakan dari berbagai kalangan. Dari UU TPKS, Pemerintah manargetkan menerbitkan peraturan pelaksana, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).

"Walaupun sudah diterbitkan lebih dari satu tahun, tapi faktanya belum bisa efektif implementasinya. Salah satunya disebabkan karena aturan teknisnya belum terbit. Padahal UU TPKS bisa menjadi pedoman penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan lebih komprehensif karena berpihak pada korban," jelas Didik.

Di sisi lain, belum adanya pemahaman menyeluruh dan utuh terkait substansi UU TPKS juga dianggap membawa konsekuensi dalam penerapan aspek perlindungan yang diamanatkan UU TPKS. Menurut Didik, salah satunya terkait persoalan kekerasan seksual dalam rumah tangga.

"Pemahaman tersebut juga harus sampai pada tataran kesepahaman antara aparat penegak hukum, kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu, dan dengan aparat penegak hukum yang berperspektif HAM dan gender," katanya.

"UU TPKS penting sekali diterapkan karena bisa kena semua mulai dari pencegahan, penindakan, sanksi dan perlindungan," lanjut Didik.

Selain penegakan hukum, UU TPKS juga mengatur hak perlindungan hingga pemulihan korban yang meliputi hak atas penanganan terhadap kasusnya. Didik berharap, pihak kepolisian memiliki peran dalam mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan pada setiap kasus kekerasan seksual.

"Korban memiliki hak atas penanganan misalnya mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban," urainya.

Selain itu, korban kekerasan seksual di UU TPKS juga mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas serta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Kemudian perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.

"Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan," sebut Didik.

Oleh karenanya, Didik mengajak semua pihak untuk berkontribusi membantu pencegahan tindak kekerasan seksual serta mengawal kasus-kasunya. Dengan begitu, menurut Didik, setidaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir.

"Pengawasan dan partisipasi dari masyarakat harus diperkuat. Melihat korban kasus kekerasan seksual terus berjatuhan, selain penindakan, Pemerintah juga harus ekstra efforts untuk melakukan pencegahan," ungkapnya.

"Kita harus mengingat lahirnya UU TPKS tidaklah mudah. Perlu waktu lama dengan banyak peluh dan dinamika yang terjadi. Jangan mengkhianati perjuangan kelahiran UU TPKS, karena ini demi kepentingan semua warga negara," imbuh Didik.

Halaman 2 dari 2
(eva/isa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads