Perkembangan terbaru, baik di dalam maupun luar negeri, dianggap memberikan dampak positif bagi studi tentang Republik Rakyat Cina (RRC) di Indonesia. Di satu sisi, dengan semakin terbentuknya iklim demokrasi pada era reformasi ini, memungkinkan dilakukannya kajian tentang Cina (yang dikenal sebagai sinologi) dengan lebih bebas.
Pada masa Orde Baru, kajian ini sangat ketat diawasi oleh pemerintah. Di sisi lain, era kebangkitan Cina dan peningkatan hubungan antara Indonesia dan Cina menjadikan studi sinologi semakin diperlukan. Hal ini disampaikan oleh Profesor A. Dahana, seorang guru besar purna bakti studi Cina dari Universitas Indonesia, yang juga pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI).
Hal itu terungkap dalam sebuah seminar daring yang berjudul "Sinologi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Tantangannya di Masa Kini" yang diselenggarakan oleh FSI pada Senin (10/7/2023). Selain Profesor A. Dahana, hadir juga Profesor Dr. Hermina Sutami, seorang guru besar aktif di program studi Cina Universitas Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Webinar ini dipandu oleh Muhammad Farid, seorang alumni studi Cina UI yang sekarang mengajar di Jurusan Hubungan Internasional President University. Dalam paparannya, Dahana menjelaskan sejarah berdirinya disiplin sinologi.
"Salah satu tokoh yang bisa kita sebut sebagai sinolog paling awal adalah Marco Polo, yang menceritakan kehidupan di Cina pada masa Dinasti Yuan kepada penduduk Genoa saat ia menjadi tawanan di kota tersebut," kata Dahana.
Ia mengungkapkan bahwa penuturan Marco Polo tersebut kemudian ditulis menjadi sebuah buku yang berjudul "The Travels of Marco Polo" oleh Rustichello.
"Kemudian, antara abad ke-15 hingga ke-18, para misionaris dari Eropa datang ke Cina untuk menyebarkan agama Kristen," lanjutnya.
Menurut Dahana, di antara para misionaris tersebut terdapat Matteo Ricci dan Michele Riggieri yang merupakan pelopor dalam bidang sinologi. Namun, pada saat itu, sinologi masih terkait erat dengan upaya misi keagamaan. Barulah pada awal abad ke-20, sinolog terkemuka asal Perancis, Edouard Chavannes, memperkenalkan kuliah-kuliah sejarah Cina di Collège de France.
Sejak saat itu, sinologi sebagai ilmu tersendiri berkembang dengan menggunakan metodologi modern. Pada zamannya, sinologi berfokus pada kebudayaan, sejarah kuno, dan karya-karya klasik Konfusianisme serta aliran filsafat lainnya di Cina.
Studi mengenai Cina mengalami perkembangan kembali setelah berdirinya RRC dan perang dingin antara blok Barat dan Timur. Sinologi yang hanya menekankan pada sejarah, budaya, dan filsafat Cina kuno dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman.
Sebagai respons, muncul studi yang mengangkat tema-tema sosial, ekonomi, dan politik kontemporer Cina. Seiring dengan berkembangnya fokus pada isu-isu kontemporer tersebut, istilah "Studi Cina" (Chinese Studies) mulai lebih populer daripada istilah "Sinologi" dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun.
Baca halaman berikutnya tentang Perkembangan Sinologi di Indonesia..
Perkembangan Sinologi di Indonesia
"Di Indonesia, kajian tentang Cina mulai berkembang pada akhir zaman kolonial, terutama pada dasawarsa pertama abad yang lalu, ketika minat terhadap masalah-masalah Cina kontemporer mulai meningkat, terutama di kalangan orang-orang Tionghoa. Minat ini dipengaruhi oleh perkembangan politik di Cina, terutama setelah munculnya dua tokoh politik terkemuka, Kang Youwei dan Dr. Sun Yat-sen," ungkap Dahana.
Menurutnya, pada akhir dekade pertama abad yang lalu, di Batavia didirikan asosiasi bernama Soe Po Sia (Shubaoshe), yang menjadi tempat berkumpulnya kaum muda keturunan Tionghoa yang melakukan diskusi mengenai perkembangan yang terjadi di Cina. Pada waktu yang hampir bersamaan, Pemerintah Hindia Belanda juga membentuk sebuah badan yang disebut Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan Tionghoa), yang bertugas memberikan saran kepada pemerintah kolonial dalam berhubungan dengan masyarakat Tionghoa.
"Namun, sinologi sebagai kegiatan akademik di Indonesia baru terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia II, ketika dua sarjana hukum Belanda, Prof. Dr. Van der Valk dan Dr. Mr. Meyer, mendirikan Sinologische Instituut (Lembaga Sinologi) pada tahun 1947, dengan bantuan Dr. R.P Kramers," kata Dahana. "Sesuai dengan namanya, lembaga yang mereka dirikan bertujuan untuk mendidik para ahli Cina dalam tradisi sinologi," tambahnya.
Generasi sinolog Indonesia pertama yang dihasilkan oleh lembaga tersebut sebagian besar berasal dari keturunan Tionghoa, seperti Sie Ing Djiang, Li Chuan Siu, Tan Lan Hiang, dan Tan Ngo An.
"Kemudian, lembaga tersebut yang menjadi cikal bakal Program Studi Cina di Universitas Indonesia diperkuat dengan kedatangan Profesor Tjan Tjoe Som, seorang sinolog lulusan Universitas Leiden yang memilih untuk berdinas di negaranya sendiri daripada menjadi profesor di Belanda," jelas Dahana.
"Profesor Tjan Tjoe Som dan sinolog Indonesia generasi pertama tersebut melahirkan sinolog-sinolog generasi berikutnya, termasuk Profesor Gondomono, Dr. Ignatius Wibowo, dan jurnalis senior Rene Pattiradjawane," tambah Dahana.
Namun, Dahana mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kecenderungan saat ini yang, seiring dengan era kebangkitan Cina, cenderung melemahkan sinologi.
"Saat ini banyak jurusan yang menamakan diri sebagai jurusan atau program studi Cina, tetapi hanya berfokus pada pengajaran bahasa Mandarin," tegasnya.
Selain itu, Dahana juga menyayangkan kecenderungan beberapa pengamat yang kehilangan sikap kritis dalam melakukan kajian terhadap Cina. "Padahal, penting bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif tentang Cina melalui proses pembelajaran yang kritis," tambahnya.
Profesor Hermina Sutami juga sejalan dengan pendapat Profesor Dahana. Menurutnya, studi Cina adalah kegiatan ilmiah yang mempelajari negara Tiongkok/Cina dalam bidang tertentu, sedangkan sinologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari negara Tiongkok/Cina dalam bidang tertentu.
Menurut pandangannya, studi Cina atau sinologi saat ini menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah bagaimana mengembangkan studi Cina agar terjalin hubungan harmonis antara orang Indonesia keturunan Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia. Selain itu, bagaimana mengembangkan metode pengajaran bahasa Mandarin bagi pembelajar Indonesia dengan memasukkan kearifan lokal, dan bagaimana mempelajari bahasa Mandarin agar dapat membantu hubungan antar negara dalam pertumbuhan ekonomi.
Terakhir, ketua FSI, Johanes Herlijanto, menekankan pentingnya kesetaraan dalam hubungan antara Indonesia dan Cina. Menurutnya, kesetaraan ini dapat dicapai melalui pemahaman yang obyektif dan kritis terhadap Cina.