Waktu: Kambing Hitam Fenomena Keluarga Enggan Berketurunan

Sudut Pandang

Waktu: Kambing Hitam Fenomena Keluarga Enggan Berketurunan

Nada Celesta - detikNews
Senin, 03 Jul 2023 13:52 WIB
Jakarta -

Pola hidup di perkotaan membuat masyarakat kehilangan banyak waktu untuk keluarga. Pada wilayah-wilayah metropolitan seperti Jakarta, masyarakat memiliki banyak faktor penentu kebahagiaan seperti jumlah penghasilan, peran dalam lingkungan, hingga memiliki keturunan. Namun, ada sebagian masyarakat menilai bahwa mereka dalam kondisi yang tidak ideal sehingga timbul rasa enggan untuk memiliki keturunan.

Rissalwan Habdy Lubis, seorang pengamat sosial dari Universitas Indonesia menyebutkan, shifting gaya hidup pedesaan menjadi perkotaan bisa disebut sebagai salah satu faktor utama yang menimbulkan keengganan itu. Lebih jauh ia mengatakan, ada 4 hal yang membangun pola pikir seorang manusia. Dari keempat hal itu, ternyata ada satu poin yang menurutnya tidak tertangkap oleh teori sosiologi klasik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sosiologi klasik tidak memperhitungkan adanya internet. Jadi, sosiologi klasik itu hanya menghitung faktor yang mempengaruhi cara berpikir manusia. Pertama, keluarga. Karena dia pertama kali belajar bicara, belajar membaca dan sebagainya itu sebetulnya dari keluarga. Yang kedua, sekolah. Yang ketiga, itu adalah lingkungan permainan. Yang keempat, itu adalah media massa," ungkap Rissalwan kepada tim Sudut Pandang detikcom, Senin (3/6).

Internet dengan segenap algoritmanya terus memberikan informasi yang dinilai menarik oleh seseorang. Hal inilah yang disebut Rissalwan sebagai faktor baru dalam membentuk pola pikir individu di masa kini. Kemampuannya untuk aktif memilih informasi yang akan dikonsumsi, membuka diskursus di era digital antara internet dengan manusia.

ADVERTISEMENT

"Jadi, kalau kita terlanjur baca, misalnya, 'Oh ini Skandinavia bagus nih, orangnya sejahtera karena anaknya nggak ada'. Karena anaknya sedikit. Terus, ya mereka itu nggak perlu ada, ada fungsi prokreasi, cukup rekreasi. Yang penting tidak berzinah!' misalnya. Selesai kita, sudah," terangnya.

Fakta bahwa waktu menjadi elemen mahal di masa kini pun menjadi variabel yang dipakai untuk memutuskan berapa jumlah anak yang ingin dimiliki. Rissalwan mengatakan bahwa pasangan yang kesulitan membagi waktu lebih enggan untuk memiliki keturunan.

"Kemampuan si orang tua untuk membagi waktunya sehingga dia akhirnya memilih untuk bisa punya anak atau tidak punya anak", katanya.

Arus informasi yang tidak terbendung membuat masyarakat bebas menentukan, jalan mana yang perlu mereka tempuh untuk memperoleh kebahagiaan. Terlepas dari dalil-dalil serta ajaran yang berlaku saat ini, menurut Rissalwan harus ada indikator yang tepat untuk menentukan jumlah keturunan dalam sebuah keluarga.

Menurutnya, setiap pasangan perlu melihat kembali kesiapan dalam memiliki keturunan tidak berdasarkan tuntutan lingkungan, melainkan aspek-aspek yang terukur. Alih-alih mengikuti tren atau gaya hidup orang lain, Rissalwan menyebutkan bahwa kondisi sosial-ekonomi serta pola interaksi-lah yang perlu diperhitungkan

"Yang paling penting adalah, memastikan usia perkawinan, pernikahan itu pada saat kematangan sosial yang tepat. Tapi pastikan sebelum pasangan itu menikah, mereka betul-betul matang secara sosial. Sosial ekonomi ya maksudnya. Jadi sudah punya pekerjaan tetap, kemudian sudah paham ya tentang bagaimana interaksi yang mengendalikan emosi dan sebagainya gitu," ungkapnya.

(vys/vys)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads