Wakil Ketua MPR Syarief Hasan mengutuk aksi pembakaran Al-Qur'an di Stockholm, Swedia, yang bertepatan dengan pelaksanaan Idul Adha (28/6/2023). Menurutnya, hal tersebut merupakan tindakan tercela yang tidak menghargai keyakinan umat islam.
Syarief menjelaskan menodai keyakinan agama dengan dalih kebebasan berekspresi termasuk kebebasan yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut juga merupakan bentuk eskalasi islamofobia, serta upaya menodai kepercayaan beragama yang seharusnya tidak ditoleransi setiap negara. Pemerintah pun diminta mengirimkan nota keberatan atau protes terhadap Pemerintah Swedia.
"Saya mengutuk keras aksi pembakaran kitab suci Al-Qur'an ini. Ini tindakan yang sangat melukai perasaan dan keyakinan seluruh umat muslim di seluruh dunia. Saya juga meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan nota keberatan atau protes diplomatik kepada Pemerintah Swedia atas aksi tidak terpuji ini. Setiap negara harus punya pemikiran yang sama bahwa setiap upaya penodaan agama tidak dapat dibenarkan," ujar Syarief dalam keterangannya, Jumat (30/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Politisi Senior Partai Demokrat ini mengatakan penghargaan akan keyakinan merupakan landasan kehidupan yang beradab. Adapun setiap manusia dan bangsa mempunyai keyakinan beragama yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Ia menambahkan, dalih kebebasan bukan merupakan sesuatu yang absolut. Adapun menurutnya, hal tersebut semestinya bersandar pada hak kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain.
Syarief menjelaskan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi seharusnya paham bahwa toleransi adalah akar dari kebebasan. Namun, kebebasan yang merenggut atau menodai keyakinan orang lain bukanlah kebebasan yang hakiki.
Oleh sebab itu, Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini pun mengusulkan adanya konsensus internasional dalam menyikapi eskalasi islamofobia yang terus berulang.
"Kita tidak bisa membiarkan kebencian dan permusuhan berlindung di balik diksi kebebasan yang semu. Ini akan merusak perdamaian global yang kita tuju bersama. Kalau kita menganggap apa yang terjadi di Swedia ini adalah wajar maka tidak akan ada toleransi berkelanjutan dalam kehidupan antarbangsa. Sikap memusuhi keyakinan beragama harus diakhiri," katanya.
"Saatnya kita menjadikan isu toleransi sebagai cara pandang kolektif. Ini adalah komitmen kolektif yang harus diwujudkan dalam aturan hukum di setiap negara. Dunia telah menghadapi sekian banyak persoalan, mulai dari eskalasi geopolitik yang semakin dinamis, ketidakpastian ekonomi, sampai ancaman perubahan iklim. Jika untuk keyakinan beragama kita tidak punya kesepahaman bersama, maka perdamaian global tidak mudah kita wujudkan," tutupnya.
(anl/ega)