Komnas HAM Catat 1.700 Aduan soal Penyiksaan Selama 2 Tahun

Yulida Medistiara - detikNews
Senin, 26 Jun 2023 16:44 WIB
Konferensi pers Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) (Foto: Dok. Istimewa)
Jakarta -

Memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional 26 Juni, Komnas HAM mencatat angka pengaduan kasus penyiksaan meningkat. Komnas HAM dan lembaga yang tergabung dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) mendesak agar pemerintah segera meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman, dan Perlakuan Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya (CAT).

"Kalau Komnas HAM melihat ini kenapa menjadi suatu yang penting untuk pencegahan penyiksaan, karena memang laporan terkait ruang dimana tahanan atau serupa tahanan itu cukup tinggi terkait pelanggaran-pelanggarannya hak asasi," kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina, dalam konferensi pers yang disiarkan di YouTube Komnas HAM, Senin (26/6/2023),

Ia menambahkan, pada 2021, Komnas HAM mencatat ada 808 aduan dan meningkat di 2022 menjadi 966 aduan. Dengan demikian, total ada sekitar 1.700 aduan yang terkait erat dengan penyiksaan. Penyiksaan di ruang tahanan atau serupa tersebut tercatat dilakukan oleh aparat penegak hukum ataupun aparat negara lainnya.

"(Tahun) 2021, misalnya, Komnas HAM mencatat ada 808 aduan dan meningkat di 2022 menjadi 966 aduan, jadi total sekitar 1.700 aduan yang terkait erat dengan penyiksaan, baik itu dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun kemudian aparat negara lainnya," katanya.

Ia mengatakan aduan terkait penyiksaan paling banyak terjadi terkait Polri, yaitu terkait penanganan kasus tidak sesuai prosedur atau tidak profesional.

"Memang laporan tertinggi masih di dominasi oleh laporan terkait aparat penegak hukum dari Polri, dan tentu saja ini menjadi perhatian kami semua di sini bagaimana upaya dialog tadi bisa kita bangun," katanya.

"Kalau kita bicara tentang Polri masih banyak terkait penanganan-penanganan tidak sesuai dengan prosedur atau tidak profesionalis sehingga ini menimbulkan rentan penyiksaan dan perlakuan kejam tidak manusiawi lainnya," sambungnya.

Oleh karena itu, 5 lembaga yang tergabung dalam dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yaitu Komnas HAM, LPSK, KPAI, Ombudsman RI, dan Komnas Disabilitas, mendesak pemerintah segera meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman, dan Perlakuan Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya (CAT).

KuPP menilai, dengan dilakukan ratifikasi protokol opsional, hal itu akan memperkuat mekanisme nasional untuk pencegahan penyiksaan sekaligus meneguhkan komitmen negara bagi pemenuhan hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Sebab KuPP mengaku prihatin terhadap korban penyiksaan.

"Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, Ombudsman RI, Komnas Disabilitas yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) prihatin dan peduli pada korban-korban penyiksaan dan perbuatan tak manusiawi dan semena-mena lainnya yang terus terjadi di era reformasi ini," katanya.

"Berbagai pengaduan langsung, temuan penelitian KuPP, dan temuan Tim Pemantauan KuPP saat visitasi serta pemberitaan luas media massa menunjukkan bahwa praktik perbuatan kejam semena-mena, termasuk penyiksaan dan kekerasan seksual banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum atau yang berkaitan dengannya," sambungnya.

Elvina mengatakan KuPP sudah lama mendorong pemerintah meratifikasi Protokol Opsional tersebut dengan cara menemui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM hingga DPR. Namun, upaya tersebut masih jalan di tempat.

"Sebelumnya KuPP sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan maupun advokasi untuk memastikan pemerintah segera meratifikasi optional protokol tersebut, komunikasi ini kita sudah lakukan berkali-kali baik kepada pemerintah maupun secara sektoral misalnya Kemlu, Kemenkum HAM dan Kapolri. Selain diskusi dan dialog konstruktif, secara halus kita mendorong pemerintah pusat segera meratifikasi, dan advokasi ke DPR," katanya.

"Memang tidak mudah meratifikasi optional protocol karena pada saat itu di ratifikasi atau optional protocol CAT itu di ratifikasi, maka ada sejumlah substansi yang harus dilakukan, Indonesia harus menerima beberapa substansi salah satunya adalah kunjungan-kunjungan dari pihak luar ke tempat-tempat dimana ditahan, artinya komite CAT itu dapat melakukan kunjungan ke rutan, lapas dan tempat-tempat detensi di Indonesia. Konsekuensi itu tentu mungkin menjadi pertimbangan dari Indonesia," katanya.

KuPP yang telah diinisiasi sejak tahun 2016 berkomitmen untuk mencegah penyiksaan dengan berbagai kegiatan seperti pemantauan lapas/rutan, kantor Kepolisian, Rudenim dan Rumah Aman bagi pengungsi, riset, pengembangan kesadaran publik maupun peningkatan kapasitas pejabat pemerintah, serta melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kementerian dan lembaga. KuPP menyebut akan mengedepankan dialog lanjutan dengan pemerintah untuk mendorong upaya ratifikasi tersebut.

"Kami berpikir apakah hal-hal seperti itu bisa diperbincangkan sehingga kondisi yang lebih baik terhadap tahanan atau tempat-tempat seperti RS jiwa atau rehabilitasi akan membuka kesempatan terkait bagaimana pelayanan dan pemenuhan hak selain kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh negara. Ke depan kita akan melakukan dialog kelanjutan, kalau kemarin belum berhasil, kita akan terus melakukan dialog," sambungnya.

Adapun acara tersebut dihadiri Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias, anggota KPAI Dian Sasmita, anggota Ombudsman RI Jemsly Hutabarat, dan anggota Komisi Nasional Disabilitas Fatimah Asri Mutmainnah.

Simak juga Video 'RUU PPRT 19 Tahun Belum Disahkan, Mahfud Sindir Ada UU Seminggu Jadi':






(yld/dhn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork