Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe. Sidang terdakwa kasus suap dan gratifikasi itu berlanjut ke tahap pembuktian.
"Mengadili, menyatakan nota keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum terdakwa Lukas Enembe tidak dapat diterima," kata ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Senin (26/6/2022).
Hakim mengatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) telah cermat dan lengkap. Hakim memerintahkan jaksa untuk melanjutkan kasus ini ke tahap pembuktian dan menghadirkan saksi-saksi di persidangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Lukas Enembe," ujarnya.
Lukas Didakwa Suap-Gratifikasi Rp 46,8 M
Lukas Enembe didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46,8 miliar. Jaksa mengatakan suap dan gratifikasi itu diterima dalam bentuk uang tunai dan pembangunan atau perbaikan aset milik Lukas.
"Yang melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji, yaitu menerima hadiah yang keseluruhannya Rp 45.843.485.350 (Rp 45,8 miliar)," kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (19/6).
Jaksa mengatakan Lukas menerima uang Rp 10,4 miliar dari Piton Enumbi selaku pemilik PT Melonesia Mulia. Kemudian, Lukas juga menerima Rp 35,4 miliar dari Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Anugerah Pharmindo.
Jaksa menyebut suap itu diberikan agar Lukas selaku Gubernur Papua memenangkan perusahaan yang digunakan Piton Enumbi dan Rijantono dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov Papua. Jaksa mengatakan suap itu terjadi pada 2018.
Jaksa mengatakan suap dari Rijatono itu terbagi dalam uang Rp 1 miliar dan Rp 34,4 miliar dalam bentuk pembangunan atau renovasi aset Lukas. Aset itu antara lain hotel, dapur katering, kosan hingga rumah.
Lukas juga didakwa menerima gratifikasi Rp 1 miliar. Duit itu diterima Lukas dari Budy Sultan selaku Direktur PT Indo Papua melalui Imelda Sun. Jaksa mengatakan Lukas tidak melaporkan penerimaan uang itu ke KPK sehingga harus dianggap suap.
Atas perbuatannya, Lukas didakwa Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan pasal 12B UU Pemberantasan Korupsi.
Lukas pun langsung mengajukan keberatan. Dia mengklaim tidak pernah menerima suap.
(whn/haf)