Organisasi masyarakat sipil memprotes penghancuran sisa bangunan Rumah Geudong yang disebut sebagai salah satu tempat pelanggaran HAM berat di Aceh. Kemenko Polhukam membantah membongkar bangunan tersebut.
"Beberapa hari ini ada viral bahwa panitia membongkar bangunan yang ada di lokasi tersebut. Ini adalah narasi yang keliru," kata Deputi V Kemenko Polhukam Rudolf Alberth Rodja secara virtual saat konferensi pers bersama Menko Polhukam di Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Rudolf mengatakan pihaknya sudah berada di Aceh sejak Minggu (18/6). Dia mengaku sudah dua kali pergi ke lokasi acara kick off pemulihan hak korban pelanggaran HAM untuk mengecek persiapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sudah melihat langsung di saat awal kami datang, itu hanya berupa tangga dan dua bidang tembok, dengan tinggi kurang lebih 1,60 meter dan ditumbuhi oleh hutan belukar dan pohon-pohon kelapa yang ada di sana," jelasnya.
Rudolf mengatakan pelanggaran HAM berat pernah terjadi di Rumah Geudong pada 1989. Namun, pada 1998, bangunan tersebut dibongkar sendiri oleh masyarakat sekitar agar tidak mengenang lagi kejadian masa lalu.
"Sehingga yang sekarang tersisa adalah tembok-tembok yang ada di sana dan ada rangka yang tersisa walaupun itu adalah rumah panggung, namun tangganya terbuat dari semen, jadi tidak rusak," ujarnya.
Rudolf mengatakan tidak ada bangunan yang dibongkar oleh pemerintah. Dia menegaskan narasi bangunan itu dibongkar oleh pemerintah merupakan hal yang tidak benar.
"Narasi bangunan dibongkar oleh panitia itu adalah menyesatkan. Yang ada tinggal ada tangga dan tembok dan tembok ini harus diratakan karena akan mengganggu pemasangan tenda dan lain-lain kalau tidak dibongkar, dan tetapi tembok ini hanya tembok kurang lebih 1,60 dengan panjang kira-kira 2,5 meter saja," tuturnya.
Aktivis Protes Pembongkaran
Berdasarkan keterangan resmi, YLBHI-LBH Banda Aceh, mengatakan pemerintah secara terang-terangan membongkar Rumah Geudong. Mereka menyesalkan pembongkaran itu karena dinilai menghilangkan situs penting yang dapat menjadi barang bukti penyelesaian kasus HAM berat jalur yudisial.
"Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di lokasi tersebut dan ini, salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM Berat," bunyi keterangan YLBHI-LBH Banda Aceh, Jumat (23/6).
pun menyatakan sejumlah sikap kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka menilai Jokowi melakukan upaya mengaburkan eksistensi Komnas HAM.
"Dengan menggunakan data Komnas HAM, terlihat bahwa negara mengaburkan perintah UU HAM dan UU Pengadilan HAM terhadap kerja-kerja Komnas HAM. Dua UU tersebut jelas menentukan, bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM, dilakukan untuk kebutuhan pro-justitia yang mana langsung bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban," jelasnya.