Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendorong adanya perbaikan tata kelola pada sektor minyak bumi dan gas (migas), salah satunya lewat perbaikan regulasi. Sebab, payung hukum regulasi terkait migas sudah berusia lebih dari satu dekade.
"Sektor migas menjadi salah satu sektor yang penting di negara kita akan tetapi hingga sekarang UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang merupakan regulasi utama dalam tata kelola termasuk hulu dan hilir migas, belum dilakukan pembaharuan," kata Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Yunan Hilmy dalam keterangan persnya, Jumat (23/6/2023).
Padahal, hasil analisis dan evaluasi sementara yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Migas di BPHN melihat perlunya perbaikan pada regulasi dimaksud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai saat ini Pemerintah masih berupaya melakukan revisi terhadap UU Nomor 22 tahun 2001 setelah lahir 22 tahun yang lalu," kata Yunan.
Salah satu hal yang disoroti lantaran UU Nomor 22 Tahun 2001 pernah diuji (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Disampaikan Yunan, setidaknya UU Nomor 22 Tahun 2001 telah diuji sebanyak empat kali ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dari empat kali pengujian, tiga Putusan MK yang penting dan krusial, yakni Putusan MK No. 002/PPU-I/2003; Putusan MK No. 36/PUU.X/2012; dan Putusan MK No. 65/PUU.X/2012.
"Setelah 11 tahun putusan MK, UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur mengenai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dinilai urgen diubah untuk mengakhiri sifat kesementaraan tersebut," kata Yunan.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Tri Hayati melihat ada dua persoalan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 yakni pengawasan dan persoalan kewenangan dalam tata kelola migas. Salah satu yang ia soroti misalnya, peran pengawasan yang dilakukan oleh BPH Migas dalam kegiatan hilir migas berdasarkan izin usaha. Menurut Prof Tri Hayati, ketentuan tersebut multitafsir karena dapat dimaknai bahwa pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin.
"Ketentuan tersebut multitafsir sehingga dapat diartikan pengawasan hanya dilakukan terhadap badan usaha yang memiliki izin. Padahal pengawasan perlu diperluas mencakup badan usaha yang tidak berizin usaha," kata Prof Tri Hayati.
(asp/zap)