Pelaksanaan politik etis yang paling dirasakan dalam pergerakan nasional bangsa Indonesia adalah pada bidang edukasi atau pendidikan.
Politik etis sendiri merupakan politik balas budi yang dibuat untuk ganti rugi kepada masyarakat Hindia Belanda (sekarang Indonesia), atas eksploitasi yang telah dilakukan pemerintah Belanda. Jadi, politik etis ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Salah satu yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam membalas budi adalah dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenyam pendidikan. Hal tersebut dilaksanakan dengan memperluas bidang pengajar dan memberi kesempatan yang luas bagi pribumi untuk belajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Latar Belakang Politik Etis
Politik etis pertama kali lahir dari gagasan salah satu tokoh Belanda, Conrad Theodore Van Deventer dan Pieter pada tahun 1900 an. Hal ini berawal dari kebijakan ekonomi yang diterapkan Belanda mengakibatkan penderitaan rakyat pribumi yang parah.
Kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel mulai berlangsung pada tahun 1830. Sayangnya, dalam pelaksanaan sistem tanam paksa ini tidak berjalan sesuai dengan peraturan awal yang berlaku.
Sehingga muncul banyak kritik dari berbagai kalangan termasuk politikus Belanda, Max Havelaar yang sampai menuliskan buku tentang ini.
Di sisi lain, Van Deventer dan Pieter Brooshooft juga merasa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda ini sudah terlalu berlebihan dan mengeksploitasi rakyat. Hingga akhirnya mereka menggagaskan politik etis sebagai bentuk balas budi.
Tiga Pilar Politik Etis
Usulan mengenai politik etis ini akhirnya diterima dan mulai diterapkan pada 17 September 1901 oleh Ratu Wilhelmina yang baru saja naik tahta. Kemudian politik etis ini digaungkan dalam 3 pilar penting yang disebut Trias Van Deventer yang berisi:
- Irigasi: perbaikan dan pertanian
- Imigrasi: ajakan kepada pribumi untuk bertransmigrasi
- Edukasi: memberikan kesempatan kepada pribumi untuk mengenyam pendidikan, mendirikan sekolah, dan memperluas bidang pengajaran
Ketiga pilar ini mulai diterapkan dan menghasilkan dampak yang cukup signifikan, meskipun pada praktiknya tetap diliciki oleh Belanda. Seperti poin irigasi dan imigrasi yang justru membuat Belanda semakin untuk dengan menerapkan berbagai kebijakan lainnya yang mengeksploitasi.
Namun untuk kebijakan ketiga, yaitu edukasi sangat dirasakan dampak positifnya, meskipun hanya golongan tertentu saja yang bisa bersekolah. Dikarenakan beberapa golongan pribumi ini mulai mengenyam bangku pendidikan dan melek akan dunia luar, membuat munculnya beberapa gerakan yang memantik para aktivis nasional untuk memperjuangkan bangsa Indonesia.
Muncul beberapa tokoh pergerakan yang aktif menyerukan suaranya untuk kemajuan pendidikan bangsa Indonesia, seperti Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo, Gunawan, Suraji, dan R.T Ario Tirtokusumo yang akhirnya mendirikan organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Itulah pelaksanaan politik etis yang paling dirasakan dalam pergerakan nasional bangsa Indonesia.
Simak juga 'Hafal 5 Juz Al-Quran, Siswa Bisa Bebas Pilih Sekolah Favorit!':