Detik-detik Kejatuhan Soeharto Versi BJ Habibie
Senin, 18 Sep 2006 09:39 WIB

Jakarta - Presiden ke-3 RI Profesor Ir Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie ternyata termasuk orang yang gemar mencatat peristiwa yang dialaminya. Catatannya detil. Dengan berbekal catatan-catatan yang tak pernah dia lewatkan itu, tokoh yang dikenal ikon 'pesawat terbang' ini pun mengungkap fakta sejarah lewat buku.Habibie memberi judul bukunya dengan 'Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi'. Hingga hari ini, Senin (18/9/2006), buku ini tentu belum ada di pasaran, karena baru akan diluncurkan secara resmi pada 21 September 2006 nanti di sebuah hotel di Jakarta. Buku setebal 549 halaman ini diterbitkan oleh THC Mandiri, salah satu sayap The Habibie Center (THC). Selama ini, Habibie lebih banyak diam terhadap hal-hal yang dialaminya, termasuk saat pergantian presiden dari Soeharto kepada dirinya. Termasuk juga dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari Bumi Indonesia. Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana sih sebenarnya yang terjadi saat itu. Nah, dua hal itu akan ditemukan dalam bukunya ini. Di dalam bukunya, Habibie menuliskan kisah cukup panjang mengenai detik-detik yang menentukan saat lengsernya Soeharto dan pengangkatan dirinya sebagai presiden. Habibie juga membuka kisah tentang 14 menteri yang dimotor Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin) yang menolak menjabat menteri di akhir kekuasaan Soeharto.Habibie membagi bukunya tersebut dalam 4 bab. Bab 1 Menjelang Pengunduran Diri Pak Harto, Bab 2 100 Hari Pertama Menghadapi Masalah Multikompleks dan Multidimensi, Bab 3 Antara 100 Hari Pertama dan 100 Hari Terakhir, Sebelum Pemilihan Presiden ke-4 RI, dan Bab 4 Seratus Hari Sebelum Pemilihan Presiden ke-4 RI. Mengapa Habibie baru membeberkan mengenai hal-hal penting ini setelah 8 tahun lengser dari kursi Presiden? "Bila saya menuliskan fakta-fakta ini pada tahun 2000, bisa-bisa akan meledak dan mengganggu proses demokratisasi saat itu," kata Habibie saat beramah tamah dengan para pemimpin media massa di kediamannya, Jl. Patra Kuningan XIII, Jakarta, Sabtu (15/9/2006) lalu, tentang alasan dirinya baru bisa menuliskan kisah ini sekarang. Habibie, yang kini berusia 70 tahun dan gaya bicaranya masih khas seperti saat menjabat Menristek, juga menjelaskan panjang lebar mengenai judul bukunya itu. "Harapan saya, dengan buku saya ini, generasi muda kita bisa melakukan hal yang lebih baik, dibanding generasi saya," ujar Habibie yang didampingi istrinya, Ny Ainun Hasri Habibie. Ada hal menarik yang disampaikan Habibie dalam pertemuan itu. Menurut dia, selama Orde Baru, sebenarnya hanya ada dua pihak yang sangat berperan dalam menentukan kebijakan pemerintah. Yang pertama, adalah Presiden Soeharto. Dan yang kedua, adalah Keluarga Besar Golkar. Yang dimaksud Keluarga Besar Golkar adalah Fraksi Golkar dan Fraksi TNI/Polri di DPR dan Fraksi Golkar, Fraksi TNI/Polri dan Utusan Daerah di MPR. Nah, Habibie pernah menjadi Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar ini dua kali, yaitu pada tahun 1993 dan 1998. Pada 20 Mei 1998, sehari menjelang lengsernya Soeharto, Habibie menghadap Soeharto di kediaman Cendana, Jakarta Pusat. Saat itu, Habibie melaporkan kondisi terakhir situasi gonjang-ganjing politik dengan bahan yang dia dapatkan dari Sekretariat Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. "Jadi saya saat itu, bertemu dengan Pak Harto, bukan sebagai Wakil Presiden, tapi saya sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar," ujar Habibie yang menyiratkan posisi Wakil Presiden di zaman Soeharto kalah hebat dari Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Kisah ini juga diceritakan secara gamblang oleh Habibie dalam bukunya itu. Masih banyak hal lain yang diungkap Habibie, yang selama ini tidak pernah diungkap media massa. Namun, menurut Habibie, apa yang ditulisnya ini masih belum bisa menampung keseluruhan catatan-catatan yang dimilikinya. "Ini hanya sebagian saja, karena saya tidak mungkin membeberkan semuanya. Tidak etis," ujar Habibie.
(asy/)