Lestari Moerdijat Soroti Belum Optimalnya Implementasi UU TPKS & PKDRT

Lestari Moerdijat Soroti Belum Optimalnya Implementasi UU TPKS & PKDRT

Dea Duta Aulia - detikNews
Rabu, 31 Mei 2023 20:17 WIB
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Foto: Dok. MPR RI
Jakarta -

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan kendala proses hukum berbagai kasus kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus segera diatasi. Hal itu dilakukan agar para korban mendapatkan hak perlindungannya sebagai warga negara.

"Kendala belum adanya aturan pelaksana dan masih lemahnya pemahaman serta kapasitas aparat penegak hukum dalam menjalankan amanat UU harus segera diatasi," kata Lestari dalam keterangannya, Rabu (31/5/2023).

Wanita yang akrab disapa Rerie ini menilai UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sejatinya merupakan dasar hukum perlindungan bagi korban kekerasan di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Belum bisa diterapkannya secara maksimal UU TPKS dan UU PKDRT hingga saat ini, apakah merupakan pembiaran atau ada konstruksi berpikir yang salah dipahami?" ujar Rerie.

Menurut Rerie, pemahaman menyeluruh terkait substansi UU tersebut menjadi faktor penentu untuk merealisasikan aspek perlindungan yang diamanatkan UU tersebut. Dia juga menilai tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, kehadiran UU PKDRT dan UU TPKS akan melemah karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Pol. Ciceu Cahyati Dwimeilawati menyampaikan pihaknya sudah memiliki sejumlah dasar hukum untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan. Dia mengungkapkan dalam rentang tahun 2018-2022, tindak kekerasan yang menimpa perempuan paling banyak terjadi dalam bentuk KDRT, perkosaan dan pencabulan.

Menurut Ciceu keterbatasan jumlah SDM penyidik, ahli dan biaya pemeriksaan untuk pembuktian ilmiah menjadi kendala dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas.

Dia pun merekomendasikan sejumlah upaya agar implementasi UU PKDRT dapat dilakukan dengan baik. Di antaranya dalam bentuk sistem monitoring dan evaluasi terpadu untuk membenahi kekurangan dalam implementasi UU PKDRT. Adanya sistem monitoring dan evaluasi terpadu, dinilai bisa menjadi edukasi masyarakat agar tidak terjadi pengulangan kasus dengan modus dan motif yang sama.

Selain itu, dia menambahkan perlu adanya pedoman kesepahaman bersama mengenai substansi UU PKDRT. Kesepahaman tersebut harus dilakukan antara aparat penegak hukum, kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu, dan dengan aparat penegak hukum yang berperspektif HAM dan gender.

Pada kesempatan yang sama, Jaksa Ahli Madya pada JAM Pidum, Kejaksaan Agung RI, Erni Mustikasari membeberkan UU PKDRT cukup menghadapi banyak kendala dalam penerapannya. Sebab, UU tersebut bertujuan bukan hanya untuk mencegah terjadinya kekerasan dan melindungi korban KDRT, tetapi juga untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis.

Erni menjelaskan tujuan UU PKDRT tersebut menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam penyelesaian sejumlah kasus KDRT. Apalagi dalam proses hukum, saksi-saksi yang hadir bisa dipastikan memiliki kedekatan dengan terdakwa, sehingga pembuktiannya cukup sulit.

Dia juga mengucapkan setelah UU TPKS diundang-undangkan, maka harus segera dilakukan harmonisasi antara KUHP yang baru serta UU PKDRT. Hal itu dilakukan agar sejumlah aturan terkait perlindungan dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan itu dapat diaplikasikan dengan baik.

Turut hadir, Anggota Dewan Kehormatan DPD KAI, Jawa Barat, Melani berharap UU PKDRT bisa mengakhiri budaya kekerasan sejak dari rumah tangga. Dia juga berharap undang-undang ini mewujudkan kesetaraan gender dan zero tolerance terhadap kekerasan.

Simak juga 'Kala Poin-poin Penting UU TPKS yang Perlu Diketahui':

[Gambas:Video 20detik]



Kendati demikian, Meilani menyoroti meningkatnya kasus KDRT saat ini. Dia menilai hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU tersebut.

Apalagi, kata Meilani ada putusan pengadilan, pascahadirnya UU TPKS, malah membebaskan terdakwa tindak kekerasan seksual. Itu terjadi karena sejumlah bukti kekerasan seksual tidak dihadirkan oleh hakim. Meilani mengakui UU TPKS cukup rumit dalam memahaminya sehingga perlu pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi para aparat penegak hukum.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazumah membeberkan dalam penanganan kasus-kasus tindak kekerasan seksual menghadapi sejumlah kendala. Di antaranya adalah bentuk keterbatasan sumber daya dan dana dalam proses hukum, yang dialami korban.

Siti menambahkan kompetensi pendamping dan aparat penegak hukum yang belum sesuai dengan yang diamanatkan UU PKDRT dan UU TPKS juga menjadi kendala. Sehingga ada kasus kekerasan seksual berbasis elektronik diselesaikan dengan menggunakan UU ITE.

Dia mengungkapkan dalam sejumlah kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, tidak sedikit korban diadukan balik oleh terdakwa. Ironisnya proses hukum pengaduan dari terdakwa bisa lebih cepat daripada proses hukum yang diajukan korban.

Siti menegaskan fenomena itu menyebabkan banyak korban KDRT dan tindak kekerasan seksual memilih jalan pengadilan perdata untuk melakukan perceraian. Hal itu dilakukan untuk memutus mata rantai kekerasan yang dialaminya.

Sementara itu, Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari mengucapkan kemampuan para penegak hukum merupakan kunci dari pelaksanaan UU PDKT dan UU TPKS.

Menurut Eva semangat pro terhadap korban harus dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum. Sebab dalam beberapa kasus tindak kekerasan seksual dan KDRT, ada aparat hukum yang malah mengedepankan upaya damai. Hal itu membuat korban kekerasan seksual dan KDRT tidak sampai pengadilan sehingga tidak mendapat keadilan.

Menanggapi hal itu, Wartawan senior, Saur Hutabarat mengatakan kecenderungan korban tindak kekerasan seksual dan KDRT adalah perempuan. Karena itu, perlu mempertimbangkan perempuan sebagai aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan jaksa.

Menurutnya hal itu dilakukan agar proses hukum yang berjalan bisa diterapkan dengan perspektif kaum perempuan. Karena semua kejahatan seksual dan KDRT, menurut Saur, salah satunya bersumber dari budaya patriarki yang berlaku di masyarakat

Sebagai informasi, diskusi tersebut dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri dan menghadirkan Analis Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri, Kombes Pol. Ciceu Cahyati Dwimeilawati, Jaksa Ahli Madya pada JAM Pidum, Kejaksaan Agung RI, Erni Mustikasari, dan Anggota Dewan Kehormatan DPD Kongres Advokat Indonesia / KAI Jawa Barat Melani sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan Siti Mazumah dan Direktur Institut Sarinah/ Koordinator Koalisi Sipil Untuk RUU PPRT Eva Kusuma Sundari sebagai penanggap.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads