Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) lewat jubirnya telah berlaku brutal dengan menafsirkan pimpinan KPK saat ini otomatis masa jabatannya bertambah 1 tahun. PBHI mewanti-wanti KPK akan dijadikan alat politik.
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima detikcom, Minggu (28/5/2023), PBHI menyoroti pertimbangan putusan MK tersebut yang penuh kejanggalan. Selain durasi pemeriksaan dan putusan yang sangat singkat, MK bahkan dengan tegas menjelaskan bahwa KPK harus berada di bawah periode pengawasan Presiden oleh karenanya Pimpinan KPK harus diperpanjang menjadi 5 tahun dengan makna sebagai norma hukum yang baru, yang tidak ada di konstitusi dan bukan mandat UU KPK.
"Yang kemudian ditafsirkan secara brutal oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono, bahwa mengikat dan berlaku surut/mundur bagi kepemimpinan KPK saat ini," demikian siaran pers Ketua PBHI, Julius Ibrani.
Sehingga, kata PBHI, MK merasuk hingga ke level persoalan teknis yakni agar bisa merevisi Keppres 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK. Menurutnya itu bertentangan dengan UU MK.
"Ini jelas bertentangan dengan berbagai konstitusi dan UU MK sendiri. Sekaligus menegaskan bahwa MK adalah Pegawai Pemerintahan, dan KPK dijadikan alat politik untuk 2024 mendatang," ungkap Julius Ibrani.
PBHI juga menyebut komisioner KPK Nurul Gufron sebagai manusia super di bidang hukum dan tata negara. Hal itu, kata dia, dibuktikan dengan melakukan transformasi politik lembaga KPK melalui positive legislation di MK.
"Nurul Gufron dengan mudahnya 'mendikte MK' dalam hal transformasi politik KPK dari lembaga penegak hukum di bidang antikorupsi, menjadi mesin politik 2024," ujarnya.
PBHI menyebut Nurul Ghufron memulai dengan dirinya sendiri yang melakukan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun dengan menambahkan frasa 'atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK'. Hal itu dinilai PBHI tidak lazim dalam seleksi lembaga negara yang tidak ada dalam konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.
"Sulap Nurul Gufron tentu menimbulkan banyak pertanyaan, utamanya terkait 'siapa dia sebenarnya hingga mempunyai kekuatan politik yang begitu luar biasa?', yang tentu tidak dapat dijawab karena Nurul Gufron bukanlah siapa-siapa. Lantas siapa di belakangnya? Siapa yang menyuruh? Dan mengambil manfaatnya?" ujar PBHI.
PBHI juga menyoroti komposisi hakim MK. Menurutnya, hakim MK bukan lagi negarawan tapi lebih mirip pegawai pemerintahan.
"Berbagai kejanggalan dan pelanggaran terus bergulir seolah bukan kesalahan. Dimulai dengan pemberian tanda kehormatan Bintang Mahaputera tahun 2020 kepada hakim MK padahal banyak keanehan dalam putusan dan menurunnya kualitas putusan MK, dan tentunya mengganggu independensi dan obyektivitas hakim MK selaku pemeriksa UU yang dibentuk oleh Pemerintah bersama DPR," beber Julius Ibrani.
"Disusul terjadinya hubungan keluarga (ipar) Presiden Jokowi dan Hakim MK, Anwar Usman, yang jelas melanggar Pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi," sambung Julius Ibrani tegas.
Simak selengkapnya pada halaman berikut.
Lihat Video: Mahfud Belum Mau Tanggapi Putusan MK soal Masa Jabatan Pimpinan KPK
(lir/dhn)