Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Demokrat Didik Mukrianto mengaku kaget terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Didik menyinggung soal kewenangan pembentuk undang-undang.
"Ya, cukup surprise putusan MK, butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma, atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU," kata Didik kepada wartawan, Jumat (26/5/2023).
Didik bertanya-tanya soal apakah putusan MK bisa menjamin kepastian hukum. Didik mengaku bingung terhadap keputusan MK dan substansi keputusan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika dihadapkan pada kewenangan MK sebagai final interpretator UUD, apakah putusan tersebut memberikan kepastian hukum atau sebaliknya? Apakah putusan tersebut membawa kemanfaatan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan? Minimal itulah diskursus publik yang akan terus berkembang," tutur Didik.
"Saya pribadi juga masih confuse dengan keputusan MK jika melihat substansinya dan dihadapkan pada kewenangan MK," sambungnya.
Menurut Didik, objek putusan tersebut harusnya menjadi kebijakan hukum yang terbuka. Pembentuk undang-undang yang diberi hak dan kebebasan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya.
"Kita tahu secara garis besar, suatu kebijakan pembentukan hukum dapat dikatakan bersifat terbuka (open legal policy) manakala UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang," sambungnya.
Ia pun menyinggung pertimbangan diambilnya keputusan itu lantaran alasan keadilan. Semestinya, lanjut Didik, hal itu juga diterapkan ke putusan presidential threshold yang ditetapkan MK.
"Namun, jika ratio decidendi putusan MK ini dititikberatkan pada alasan keadilan, lantas apa kabar dengan putusan MK yang lain yang serupa, misalkan putusan yang terkait dengan presidential threshold, yang menjadi kebijakan hukum terbuka pembuat UU," tutur Didik.
"Bukankah penentuan presidential threshold juga berpotensi tidak adil, dan bahkan menghambat demokrasi? Saya yakin masih banyak putusan serupa yang posisinya demikian," sambungnya.
Didik memahami MK adalah penjaga konstitusi, namun ia mengingatkan lembaga ini untuk tidak merugikan kepentingan pembuat undang-undang.
"Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki oleh MK, harusnya MK tidak boleh bertindak sebagai tirani justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. MK harus menjadi constitutional court, dan bukan interest court atau bahkan political court," sambungnya.
Didik meminta MK konsisten dengan semua putusannya, termasuk keputusan presidential threshold yang bisa saja dikabulkan.
"Jika ratio decidendi putusan MK salah satunya menitikberatkan pada keadilan, MK juga harus konsisten dalam semua putusannya, misalkan presidential threshold. Logikanya dengan penekanan keadilan, gugatan presidential threshold harus dikabulkan," tutur Didik.
"Jika MK menggunakan kekuasaan dengan semena-mena dan subjektif, tidak perlu lagi diberikan hak kepada pembentuk UU untuk diberikan hak membuat kebijakan hukum terbuka," pungkasnya.
Penjelasan Jubir MK
Sebelumnya, juru bicara MK Fajar Laksono menjelaskan tentang berlakunya putusan MK atas gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. MK menegaskan putusan ini berlaku mulai pimpinan KPK saat ini.
"Sebagaimana diatur dalam UU MK, putusan berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan," ujar Fajar kepada wartawan, Jumat (26/5).
Fajar menjelaskan pertimbangan mengenai keberlakuan Putusan 112/PUU-XX/2022 bagi Pimpinan KPK saat ini, ada dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117.
"Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. MK menyegerakan memutus perkara ini agar Putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi Pemohon khususnya dan keseluruhan Pimpinan KPK saat ini," katanya.
Karena itu, Fajar menegaskan putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK berlaku mulai era Firli cs saat ini. Dia mengatakan masa jabatan Firli cs diperpanjang hingga 2024.
"Pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan empat tahun, dan akan berakhir pada Desember 2023 diperpanjang masa jabatannya selama satu tahun ke depan hingga genap menjadi lima tahun masa jabatannya sesuai dengan putusan MK ini," tuturnya.
Simak Video 'Mahfud Belum Mau Tanggapi Putusan MK soal Masa Jabatan Pimpinan KPK':