Hasrat Biologis Jadi Masalah

100 Hari Gempa Yogya (4)

Hasrat Biologis Jadi Masalah

- detikNews
Selasa, 12 Sep 2006 16:14 WIB
Bantul - Gempa 27 Mei tidak hanya menghancurkan rumah beserta seisinya. Namun akibat rumah-rumah roboh, semua warga korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah terutama bagi pasangan suami istri sempat kebingungan mencari tempat untuk menyalurkan hasrat bilogisnya.Berbagai cara banyak ditempuh dan dilakoni oleh warga untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Bagi yang mempunyai uang cukup, mereka bisa menyewa sebuah losmen di Kota Yogyakarta atau di kawasan wisata Parangtritis maupun di sekitar Candi Prambanan. Namun bagi yang tidak punya uang, sebagian terpaksa 'puasa', karena tidak bisa mendapatkan tempat yang aman dan nyaman. Ada pula pasangan suami-istri yang nekat tetap melakukan hubungan seksual secara sembunyi-sembunyi di sekitar tenda, kebun kosong atau reruntuhan rumah. Bahkan ada yang nekat melakukan di kamar mandi yang masih utuh di malam hari."Terpaksa kami sempat puasa sebulan, tidak begituan dulu. Rumah roboh dan tak ada kamar lagi," kata Suyitno (40) warga Sumberagung, Jetis, Bantul saat dihubungi detikcom, Selasa (12/9/2006).Menurut dia, bisa saja dirinya dan istrinya melakukan hubungan di dalam tenda. Tapi, itu tidak aman, karena bisa tepergok anak-anak maupun tetangganya. Sebab tenda seluas 21 meter persegi itu ditempati 6 orang anggota keluarganya, tanpa ada dinding penyekat. Sedang tempat tidur juga hanya dijejer saling berdekatan satu sama lain. "Ini repotnya, sampai-sampai akhirnya kami nekat melakukan di kamar mandi yang agak jauh dari tenda. Itu kami lakukan berkali-kali setiap malam dan untung tidak ada yang tahu," kata dia dengan penuh senyuman. Dia bercerita, saat melakukan hubungan intim di kamar mandi, situasi agak mendukung, karena sekitar pekarangan rumah agak gelap karena tidak ada lampu penerangan listrik. Namun ada pula tetangganya yang melakukan di kebun atau di pinggir jalan. Hanya saja risikonya, ketahuan atau diintip tetangga sekitar. "Tetangga kami ada yang terpaksa nyewa kamar sebuah penginapan di Kota Yogyakarta atau di Parangtritis dengan alasan pamit menghadiri resepsi. Itu yang punya duit, kalau seperti kami yang hanya buruh, bisa tombok setiap kali kepingin harus mengeluarkan uang Rp 100 ribu untuk sewa kamar," katanya.Hal serupa juga dialami Cahyono, warga Desa Trotok, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten. Saat gempa terjadi 27 Mei 2006, Cahyono baru 3 bulan menikahi kekasihnya. Gempa merobohkan rumah pasangan baru ini. Salah seorang kerabatnya di wilayah Klaten Utara sempat menawarinya rumah sementara yang bisa digunakan menyalurkan hasrat biologisnya bersama istrinya. Namun, Cahyono menolak dan memilih menyewa kamar sebuah penginapan di kawasan Prambanan. Setiap kali menyewa kamar, kata dia, petugas hotel juga tidak menanyakan macam-macam, seperti asal KTP atau identitas jelas. Asal sudah membayar uang sewa kamar, masalah selesai. Hal itu tidak hanya dilakukan oleh dirinya. Beberapa temannya dan warga korban gempa lainnya ternyata melakukan hal yang sama.Tiga bulan setelah gempa, Cahyono bersama istrinya sudah menempati rumah sementara dari gedhek bambu seluas 24 meter persegi. Meski sudah mempunyar kamar tidur sendiri dan sudah bisa melampiaskan hasrat biologis, dia tetap merasa was-was takut diintip. "Dinding kamar terpaksa tutup pakai kertas semen biar tidak bisa ditembus atau dilubangi," kenang Cahyono. (asy/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads