Tebang Pilih Ada Karena Politik Penegakan Hukum Tak Jelas
Selasa, 12 Sep 2006 15:32 WIB
Jakarta - Istilah tebang pilih dalam pemberantasan korupsi muncul karena tidak ada kepastian hukum. Karena itu, pemerintah harus mencari metode penegakan hukum yang tepat.Demikian intisari yang mengemuka dalam seminar bertajuk 'Transparansi Keuangan BUMN dan Pemberantasan Korupsi' di Graha Niaga, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (12/9/2006).Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus), Ramelan, yang hadir sebagai pembicara mengatakan, istilah tebang pilih itu karena adanya ketidakpastian hukum dalam pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan oleh penerapan kewenangan diskresi (pengecualian) yang tidak jelas pedomannya. Ditambah lagi penerapan penafsiran hukum yang tidak pas."Penegak hukum harus diberi kewenangan diskresi sehingga bisa memilah-milah. Tapi dalam prakteknya penerapan itu tidak jelas, sehingga orang merasa tidak ada kepastian hukum," tutur Ramlan.Sebagai contoh kata-kata melawan hukum pada pasal 2 UU No 31/1999. Istilah melawan hukum itu dinilai tidak jelas, sehingga perlu adanya penafsiran. "Padahal hal itu perlu dijelaskan formil sesuai hukum dan azas kepatutan. Tidak boleh subjektif, tapi objektif berdasarkan ilmu pengetahuan dari kalangan ahli serta dilandasi hukum dan etika," ungkap Ramelan.Mantan Direktur YLBHI, Bambang Widjojanto, yang juga hadir sebagai pembicara menilai, munculnya istilah tebang pilih adalan konsekuensi ketidakmampuan pemerintah untuk melahirkan politik penegakan hukum yang baik. Karena itu, sudah saatnya sistem penegakan hukum Indonesia diperbaiki. "Kalau (politik penegakan hukum) tidak jelas, penegak hukum juga tidak tahu mau ke mana. Siapa dan apa yang yang harus ditindak," tutur Bambang.Pemerintah perlu merumuskan strategi yang tepat dalam pemberantasan korupsi. Ada beberapa metode yang bisa dilakukan. Pertama, metode big fish, yakni menangkap koruptor besar. Kedua metode quick wins, yakni menangkap para pelaku kelas teri dengan cepat. Ketiga, menggabungkan kedua metode tersebut.Menurut Bambang, dirinya lebih memilih pada metode ketiga, yakni menggabungkan metode big fish dan quick wins. Penegakan hukum dimulai dengan segera menangkap pelaku korupsi kelas teri, dan selanjutnya ke pelaku yang lebih besar."Kalau saya lihat KPK lebih cenderung ke quick wins, sehingga kepercayaan publik meningkat. Namun metode yang pas diterapkan di Indonesia adalah mengkombinasikan keduanya," kata Bambang.
(djo/nrl)