Istilah 'petugas partai' dan 'petugas rakyat' semakin ramai diperbincangkan memasuki bursa Pilpres 2024. Kedua istilah itu kerap dihadap-hadapkan, satu menegasikan yang lain. Tapi bagaimana sebenarnya dalam kacamata hukum tata negara?
Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIP UGM) Mada Sukmajati, meminta jangan mendikotomi terminologi Petugas Partai dengan Petugas Rakyat, tapi seharusnya mensinergikan. Saat melawankan dua diksi tersebut, maka masing-masing punya dampak negatif.
"Jadi tidak mudah, ada resiko bila presiden berbasis elite. Tapi ada resiko juga langsung melabeli petugas rakyat. Ada fenomena di Amerika Latin, demokrasi berbasis populearisme menjadi otoritarianisme," kata Prof Mada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada resiko bila presiden berbasis elite. Tapi ada resiko juga langsung melabeli petugas rakyat. Ada fenomena di Amerika Latin, demokrasi berbasis popularisme menjadi otoritarianismeKetua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan FISIP UGM, Mada Sukmajati |
Hal itu disampaikan dalam webinar 'Petugas Partai = Petugas Rakyat? (Tinjauan Hukum Tata Negara) yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (AP HTN-HAN), Selasa (16/5/2023). Adapun ahli hukum tata negara Dr Agus Riewanto menyitir Rossiter, C. (1960):
No Democray without political party and no political pary without modern party.
"Parpol adalah subjek hukum utama karena ditulis dalam konstitusi, UUD 1945, tidak ada demokrasi tanpa parpol. Agen utama demokrasi adalah parpol. Tapi nggak juga bisa jadi utama tanpa parpol modern," kata Agus
Oleh sebab itu, peran utama parpol itu disebutkan dalam Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945, yaitu Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD. Selain itu juga disebutkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan melalui Parpol dan UU No 10/2016 tentang Pilkada, yaitu kepala daerah dicalonkan oleh parpol dan perorangan.
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 juga menyebutkan:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
"Setiap warga negara berhak jadi Capres/Cawapres, namun, namun hak tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan, melainkan harus melalui pintu pencalonan oleh Parpol," ungkap Agus.
Agus menegaskan yang memiliki hak konstitusional pencalonan Capres/Capres adalah Parpol bukan setiap warga negara. Hal itu ditegaskan dalam Putusan MK No 007/PUU-II/2004 bahwa ada pembedaan Hak Konstitusional Warga Negara dengan Hak Konstitusional Parpol.
"Istilah petugas partai tak dikenal di UUD 195 yang hanya mengintrodusir Capres/Cawapres diusulkan oleh parpol/gabungan Parpol. Saat pencalonan Capres/Cawapres adalah kader partai dan delegasi parpol," urai Agus.
Di sisi lain, terdapat 2 jenis parpol dalam pencalonan capres/cawapres. Yaitu parpol pengusung yang didaftarkan di KPU dan parpol pendukung yang tak terdaftar di KPU.
Konsekuensinya, visi-misi dan program kerja Capres/Cawapres di kampanye Pilpres adalah visi-misi Parpol pengusung dan tema kampanye Pilpres mencerminkan ideologi Parpol," ungkap Agus.
Setelah terpilih, maka Presiden dan Wakil Presiden yaitu berfungsi sebagai:
1. Presiden/Wapres tetap kader Parpol Pengusung
2. Presiden/Wapres tak terputus relasinya dengan Parpol Pengusung
3. Program dan kebijakan Presiden adalah platform Parpol
4. Visi-misi Capres/Cawapres di Pilpres dituangkan dalam: visi misi capres menyesuaikan RPJPN, visi-misi Capres dituangkan dalam RPJMN dan visi misi Capres diterjemahkan dalam RKP oleh Bappenas.
"Maka dalam diri Presiden/Wapres Terpilih memanggul 2 tugas sekaligus yaitu petugas/delegasi/kader parpol dan petugas/representasi rakyat," kata Agus tegas.
Dalam kesempatan yang sama, pengajar hukum tata negara STHI Jantera, Fritz Edward Siregar PhD menyatakan dua istilah itu berasal dari sebuah pertanyaan kunci yait apakah yang mewakili harus selalu bertanya ke konstituennya dalam berbagai isu.
"Hal itu sulit dilakukan dalam suasana kompleksitas. Maka di tengah-tengahnya ada namanya parpol. Selama berbaur (antara wakil yang diwakili), saya percaya legitimasi itu terjadi," kata Fritz Edward.
Dalam webinar itu, Sekjen APHTN-HAN Prof Bayu Dwi Anggono menyatakan bicara praktik dan penguatan demokrasi Indonesia maka seharusnya tidak lepas dari demokrasi konstitusional yaitu demokrasi yang berbasiskan pada nilai-nilai konstitusi dan aturan hukum.
"Salah satu praktik sekaligus ujian demokrasi konstitusional adalah bagaimana memastikan pemilu termasuk pemilu 2024 selalu berlandaskan pada konstitusi, aturan hukum khususnya hukum di bidang kepemiluan," kata Bayu Dwi Anggono.
Simak juga Video: Pendapat Survei SMRC atas Asumsi Masyarakat ke Ganjar