Hakim MK Arief Hidayat Pertanyakan Sistem Pemilu dan Keterwakilan Perempuan

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 11 Mei 2023 10:53 WIB
Sidang MK beberapa waktu lalu (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Jakarta -

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mempertanyakan kaitan sistem pemilu dengan keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. Menurut Arief, sistem proporsional terbuka ataupun sistem proporsional tertutup harus bisa mewujudkan affirmative action keterwakilan perempuan.

"Apakah juga sistem ini, sistem terbuka itu kompatibel affirmative action?" kata Arief yang tertuang dalam risalah sidang MK sebagaimana dikutip detikcom, Kamis (11/5/2023).

Affirmative action itu dimulai sejak di UU Parpol. Kepengurusan partai politik harus 30% mencerminkan wanita. Demikian juga di UU Pemilu.

"Pencalonan, mulai dari tahap pencalonan itu harus ada 30 persen calon wanita," ujar Arief Hidayat.

Arief Hidayat lalu membuat simulasi susunan urutan caleg lalu dipilih dengan sistem terbuka dan sistem tertutup. Karena sistem terbuka mendasarkan pada raihan suara terbanyak yang berbasis popularitas, peluang 30 persen perempuan menjadi kecil.

"Dengan sistem terbuka, itu kan terjun bebas yang memilih langsung rakyat, sehingga affirmative action yang mulai disusun berdasarkan Undang-Undang Parpol ke pengurusannya, sampai ke pencalonan yang afirmatif itu, terjun bebas dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, rakyat memilih bukan yang sesuai dengan afirmatif itu. Calon perempuan tidak masuk ke DPR, DPRD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota karena terjun bebas," urainya.

Hal itu berbeda bila menggunakan sistem tertutup. Distribusi suara perolehan parpol bisa dialokasikan untuk mendukung affirmative action.

"Tapi kalau sistem tertutup dengan daftar calon itu kan bisa diatur menggunakan sistem afirmatif. Ini bisa kompatibel atau tidak?" tanya Arief Hidayat ke ahli.

Menjawab pertanyaan tersebut, ahli Prof Firman Noor mengakui proporsional terbuka memiliki sejumlah kelemahan seperti soal keterwakilan perempuan. Namun, menurutnya, hal itu harus dibenahi, tapi bukan dengan menghapus proporsional terbuka.

"Mengenai rawannya sistem pemilu terbuka terhadap perempuan dan juga kalangan minoritas, saya kira memang PR kita adalah mengedukasi pemilih, kita mengedukasi siapa pun agar bisa memiliki kesadaran politik yang lebih baik, sehingga tidak melihat bahwa kapabilitas seseorang politisi itu terkait dengan gendernya. Dan ini memang tugas besar negara untuk membuat negara kita ini menjadi lebih open minded, menjadi lebih dewasa, menjadi lebih matang di dalam melihat politik, sehingga ketika kita sudah semakin matang, maka kita bisa menentukan pilihan-pilihan menjadi lebih rasional," kata Firman Noor.

"Memang itu butuh waktu, tapi sebetulnya bukan tidak mungkin bisa dilakukan dan kuncinya adalah melakukan edukasi politik yang seluas-luasnya kepada masyarakat. Kalau kemudian diubah begitu saja ya, sekali lagi tadi sudah saya sampaikan beberapa kelemahan sistem proporsional tertutup yang sekali lagi akan cenderung untuk menguatkan elitisme dan konteks bangsa kita saat ini adalah kita melihat demokrasi kita cenderung menjadi demokrasi yang elitis," pungkas Firman Noor.

Sebagaimana diketahui, judicial review sistem pemilu proporsional terbuka digugat oleh:

1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)

Pemohon beralasan, parpol mempunyai fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

"Menyatakan frase 'proporsional' Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'," urai pemohon.

Sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Parpol.

"Dengan demikian, ada jaminan kepada pemilih calon yang dipilih parpol memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat," beber pemohon.




(asp/zap)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork