Ruangan sepetak di lantai dua itu memang tak terlalu luas. Ukurannya mungkin tak lebih dari tiga meter persegi. Namun, suasananya damai dan menenangkan. Cahaya matahari menyeruak lewat jendela besar, dan tiap inci dindingnya dihiasi berbagai lukisan.
Lukisan-lukisan itu bermuatan huruf-huruf Arab. Kebanyakan di antaranya terlukis di atas kanvas, sebagian sudah dipigura, sementara sisanya masih disangga easel. Ada yang menggunakan cat minyak, cat air, krayon, hingga pensil dan pulpen.
Seni kaligrafi di ruangan itu adalah karya Didin Sirojuddin AR. Karya-karyanya itu terpajang di Studio Lembaga Kaligrafi Al Quran, Ciputat Timur, Tangerang Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap huruf yang digores itu memiliki aturannya. Yaitu ukuran-ukuran per huruf. Misalnya, untuk huruf alif, kita buat tingginya itu 5-6 titik. Kemudian ada huruf yang lengkung, ada huruf yang mendatar," terang Didin sembari melukis di kanvas.
"Nah prosesnya itu memang bertahap. Jadi tidak bisa langsung jadi," lanjutnya. Kali ini, Didin sedang melukis cepat lafal Allah, dengan warna utama merah dan latar belakang biru-kuning yang abstrak.
Sosok Didin kini dikenal dan dihormati di kalangan kaligrafer Indonesia. Bahkan, banyak juga yang menyebutnya sebagai Bapak Kaligrafi Indonesia, hingga memberinya gelar maestro kaligrafi.
Kemasyhuran Didin tidak terjadi begitu saja. Semua dimulai dari Didin muda yang punya ambisi mengembangkan pendidikan kaligrafi di Indonesia.
Sempat menempuh pendidikan di Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, dari tahun 1969 hingga 1975, di sanalah Didin mempelajari seni kaligrafi.
Minat Didin pada kaligrafi tidak berhenti setelah ia lulus dari Gontor. Sebaliknya, ia justru semakin bersemangat mengembangkan pendidikan kaligrafi untuk orang-orang dengan minat yang sama seperti dirinya.
"Pada waktu itu kan yang namanya lembaga kaligrafi atau sanggar kaligrafi di Indonesia itu belum tampak. Jadi, sepertinya masing-masing kaligrafer menulis sendiri-sendiri. Kemudian pada waktu itulah saya punya cita-cita, suatu saat, saya harus bikin lembaga kaligrafi," kenang Didin di program Sosok detikcom.
Sepuluh tahun kemudian, cita-cita itu terwujud. Didin mendirikan Lembaga Kaligrafi Al Quran (LEMKA) pada 1985 yang kala itu bertempat di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Lalu, pada 1998, LEMKA juga didirikan di Sukabumi, dalam bentuk pondok pesantren.
Puluhan tahun berdiri, sekolah buatannya telah membina ribuan peserta didik dari berbagai kalangan dan kewarganegaraan. Hingga kini, LEMKA juga merupakan satu dari sedikit lembaga kaligrafi di Indonesia yang bertahan.
LEMKA dan pusatperkembangan kaligrafi dunia, halaman selanjutnya.
Meski demikian, di awal pendiriannya, LEMKA pernah mengalami kebangkrutan. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap bidang kaligrafi, serta belum ditemukannya metode pengajaran yang pas, membuat lembaga yang didirikan Didin ini sempat sepi peminat.
"Waktu itu juga masyarakat itu kan belum terlalu kenal dengan kaligrafi. Termasuk mereka belum tahu kaligrafi itu untuk apa. Kita juga belum menemukan metode yang baik. Saya sendiri juga dulu bukan guru. Saya hanyalah seorang seniman kaligrafi," terang Didin.
Meski menemui penghalang, Didin menolak berhenti begitu saja. Ia memulai langkahnya kembali dengan belajar menjadi seorang guru. Pada perjalanannya, Didin menemukan bahwa guru yang baik harus memberi contoh langsung, serta aktif memotivasi murid.
Hingga kini, Didin masih memegang teguh prinsipnya itu. Ia masih aktif melukis kaligrafi dalam format tradisional maupun kontemporer. Didin juga sering membagikan ilmunya di berbagai forum dan kelas kaligrafi.
"Saya tidak mungkin memadamkan semangat yang sudah berkobar-kobar, akhirnya itulah yang mendorong saya untuk terus tidak berhenti berkarya. Selain saya sendiri sudah bersumpah, jadi apapun saya, saya adalah guru kaligrafi," kata Didin.
Lebih lanjut, Didin tak hanya melatih peserta didik LEMKA untuk melukis kaligrafi secara teknis. Para kaligrafer ini juga didorong untuk memasukkan karya-karyanya ke pasar kesenian dan lomba, untuk meningkatkan visibilitas karya serta menambah wawasan kaligrafer.
Melalui itu semua, nilai komersil karya kaligrafi juga meningkat. Kaligrafi dapat dimuat untuk kebutuhan praktis seperti cenderamata, brosur, dan buku-buku, hingga menjadi karya seni elit yang bernilai ratusan juta rupiah.
Pada akhirnya, peminat lukis kaligrafi pun bertambah. Sebab, melalui kaligrafi, seseorang bisa mendapat penghasilan, yang mengutip Didin, tak hanya cukup, namun bahkan berlebih.
Meski telah sukses mempelopori pendidikan kaligrafi di Indonesia, Didin masih punya cita-cita yang belum tercapai. Ia ingin, suatu saat Indonesia bisa jadi kiblat kaligrafi dunia.
"Kaligrafer kita sudah selevel dengan kaligrafer internasional. Sekarang juga ada karya kontemporer, karya digital. Itu akan menambah kesemarakan itu semakin menjadi-jadi di Indonesia. Harapan kami, Indonesia akan didatangi oleh para peminat yang belajar kaligrafi, dari seluruh wilayah dunia," pungkas Didin.